Rabu, 16 Juni 2010

Telekomunikasi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 1999
TENTANG
TELEKOMUNIKASI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
a. bahwa tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan
masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa penyelenggaraan telekomunikasi mempunyai arti strategis
dalam upaya memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa,
memperlancar kegiatan pemerintahan, mendukung terciptanya
tujuan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta
meningkatkan hubungan antar bangsa;
c. bahwa pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi
telekomunikasi yang sangat pesat telah mengakibatkan perubahan
yang mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap
telekomunikasi;
d. bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan perubahan mendasar
dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi
tersebut, perlu dilakukan penataan dan pengaturan kembali
penyelenggaraan telekomunikasi nasional;
e. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka Undangundang
Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi dipandang
tidak sesuai lagi, sehingga perlu diganti;
Mengingat Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang-
Undang Dasar 1945;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG TELEKOMUNIKASI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau
penerimaan dan setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda,
isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat,
optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya;
2. Alat telekomunikasi adalah setiap alat perlengkapan yang
digunakan dalam bertelekomunikasi;
3. Perangkat telekomunikasi adalah sekelompok alat telekomunikasi
yang memungkinkan bertelekomunikasi;
4. Sarana dan prasarana telekomunikasi adalah segala sesuatu yang
memungkinkan dan mendukung berfungsinya telekomunikasi;
5. Pemancar radio adalah alat telekomunikasi yang menggunakan dan
memancarkan gelombang radio;
6. Jaringan telekomunikasi adalah rangkaian perangkat
telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam
bertelekomunikasi;
7. Jasa telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk
memenuhi kebutuhan bertelekomunikasi dengan menggunakan
jaringan telekomunikasi;
8. Penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi,
badan usaha milik daerah, badan usaha milik negara, badan usaha
swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan
negara;
9. Pelanggan adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah
yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi berdasarkan kontrak;
10. Pemakai adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah
yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi yang tidak berdasarkan kontrak;
11. Pengguna adalah pelanggan dan pemakai;
12. Penyelenggaraan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan
pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya
telekomunikasi;
13. Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi adalah kegiatan
penyediaan dan atau pelayanan jaringan telekomunikasi yang
memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
14. Penyelenggaraan jasa telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan
dan atau pelayanan jasa telekomunikasi yang memungkinkan
terselenggaranya telekomunikasi;
15. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus adalah penyelenggaraan
telekomunikasi yang sifat, peruntukan, dan pengoperasiannya
khusus;
16. Interkoneksi adalah keterhubungan antarjaringan telekomunikasi
dan penyelenggara jaringan telekomunikasi yang berbeda;
17. Menteri adalah Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang telekomunikasi.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan
merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan
pada diri sendiri.
Pasal 3
Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung
persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi
dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antarbangsa.
BAB Ill
PEMBINAAN
Pasal 4
1. Telekomunikasi dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan
oleh Pemerintah.
2. Pembinaan telekomunikasi diarahkan untuk meningkatkan
penyelenggaraan telekomunikasi yang meliputi penetapan
kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan pengendalian.
3. Dalam penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan
pengendalian di bidang telekomunikasi, sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), dilakukan secara menyeluruh dan terpadu dengan
memperhatikan pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam
masyarakat serta perkembangan global.
Pasal 5
1. Dalam rangka pelaksanaan pembinaan telekomunikasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4, Pemerintah melibatkan peran serta
masyarakat.
2. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa penyampaian pemikiran dan pandangan yang berkembang
dalam masyarakat mengenai arah pengembangan pertelekomunikasian
dalam rangka penetapan kebijakan, pengaturan, pengendalian, dan
pengawasan di bidang telekomunikasi.
3. Pelaksanaan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diselenggarakan oleh lembaga mandiri yang dibentuk
untuk maksud tersebut.
4. Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) keanggotaannya
terdiri dan asosiasi yang bergerak di bidang usaha
telekomunikasi, asosiasi profesi telekomunikasi, asosiasi
produsen peralatan telekomunikasi, asosiasi pengguna jaringan
dan jasa telekomunikasi, dan masyarakat intelektual di bidang
telekomunikasi.
5. Ketentuan mengenai tata cara peran serta masyarakat dan
pembentukan lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 6
Menteri bertindak sebagai penanggung jawab administrasi
telekomunikasi Indonesia.
BAB IV
PENYELENGGARAAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 7
1. Penyelenggaraan telekomunikasi meliputi :
a. penyelenggaraan jaringan telekomunikasi;
b. penyelenggaraan jasa telekomunikasi;
c. penyelenggaraan telekomunikasi khusus.
2. Dalam penyelenggaraan telekomunikasi, diperhatikan hal-hal
sebagai berikut :
. melindungi kepentingan dan keamanan negara;
a. mengantisipasi perkembangan teknologi dan tuntutan
global;
b. dilakukan secara profesional dan dapat
dipertanggungjawabkan;
c. peran-serta masyarakat.
Bagian Kedua
Penyelenggara
Pasal 8
1. Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau
penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b dapat dilakukan oleh badan
hukum yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu:
a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
b. Badan Usaha MiIik Daerah (BUMD);
c. badan usaha swasta; atau
d. koperasi.
2. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c dapat dilakukan oleh :
. perseorangan;
a. instansi pemerintah;
b. badan hukum selain penyelenggara jaringan telekomunikasi
dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi.
3. Ketentuan mengenai penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 9
1. Penyelenggara jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1) dapat menyelenggarakan jasa
telekomunikasi.
2. Penyelengara jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi,
menggunakan dan atau menyewa jaringan telekomunikasi milik
penyelenggara jaringan telekomunikasi.
3. Penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (2) dapat menyelenggarakan telekomunikasi untuk:
a. keperluan sendiri;
b. keperluan pertahanan keamanan negara;
c. keperluan penyiaran.
4. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf a terdini dan penyelenggaraan telekomunikasi
untuk keperluan:
. perseorangan;
a. instansi pemerintah;
b. dinas khusus;
c. badan hukum.
5. Ketentuan mengenai persyaratan penyelenggaraan telekomunikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Larangan Praktek Monopoli
Pasal 10
1. Dalam penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan
kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat di antara penyelenggara
telekomunikasi.
2. Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Keempat
Perizinan
Pasal 11
1. Penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 dapat diselenggarakan setelah mendapat izin dan Menteri.
2. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan
memperhatikan:
a. tata cara yang sederhana;
b. proses yang transparan, adil dan tidak diskriminatif;
serta
c. penyelesaian dalam waktu yang singkat.
3. Ketentuan mengenai perizinan penyelenggaraan telekomunikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Hak dan Kewajiban Penyelenggara dan Masyarakat
Pasal 12
1. Dalam rangka pembangunan, pengoperasian, dan atau pemeliharaan
jaringan telekomunikasi, penyelenggara telekomunikasi dapat
memanfaatkan atau melintasi tanah negara dan atau bangunan yang
dimiliki atau dikuasai Pemerintah.
2. Pemanfaatan atau pelintasan tanah negara dan atau bangunan
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berlaku pula terhadap sungai,
danau, atau laut, baik permukaan maupun dasar.
3. Pembangunan, pengoperasian dan atau pemeliharaan jaringan
telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan
setelah mendapatkan persetujuan dari instansi pemerintah yang
bertanggung jawab dengan memperhatikan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Pasal 13
Penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah
dan atau bangunan milik perseorangan untuk tujuan pembangunan,
pengoperasian, atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi setelah
terdapat persetujuan di antara para pihak.
Pasal 14
Setiap pengguna telekomunikasi mempunyai hak yang sama untuk
menggunakan jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi dengan
memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 15
1. Atas kesalahan dan atau kelalaian penyelenggara telekomunikasi
yang menimbulkan kerugian, maka pihak-pihak yang dirugikan
berhak mengajukan tuntutan ganti rugi kepada penyelenggara
telekomunikasi.
2. Penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan ganti rugi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali penyelenggara
telekomunikasi dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan
diakibatkan oleh kesalahan dan atau kelalaiannya.
3. Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian ganti
rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 16
1. Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau
penyelenggara jasa telekomunikasi wajib memberikan kontribusi
dalam pelayanan universal.
2. Kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berbentuk penyediaan sarana dan prasarana telekomunikasi
dan atau kompensasi lain.
3. Ketentuan kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
Penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa
telekomunikasi wajib menyediakan pelayanan telekomunikasi berdasarkan
prinsip
a. perlakuan yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi
semua pengguna;
b. peningkatan efisiensi dalam penyelenggaraan telekomunikasi;
dan
c. pemenuhan standar pelayanan serta standar penyediaan sarana dan
prasarana.
Pasal 18
1. Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib mencatat / merekam
secara rinci pemakaian jasa telekomunikasi yang digunakan oleh
pengguna telekomunikasi.
2. Apabila pengguna memerlukan catatan/rekaman pemakaian jasa
telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penyelenggara telekomunikasi wajib memberikannya.
3. Ketentuan mengenai pencatatan/perekaman pemakaian jasa
telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
Penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menjamin kebebasan
penggunanya memilih jaringan telekomunikasi lain untuk pemenuhan
kebutuhan telekomunikasi.
Pasal 20
Setiap penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan prioritas untuk
pengiriman, penyaluran, dan penyampaian informasi penting yang
menyangkut :
a. keamanan negara;
b. keselamatan jiwa manusia dan harta benda;
c. bencana alam;
d. marabahaya; dan atau
e. wabah penyakit.
Pasal 21
Penyelenggara telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan usaha
penyelenggaraan telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan
umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum.
Pasal 22
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau
memanipulasi
a. akses ke jaringan telekomunikasi; dan atau
b. akses ke jasa telekomunikasi; dan atau
c. akses ke jaringan telekomunikasi khusus.
Bagian Keenam
Penomoran
Pasal 23
1. Dalam penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan jasa
telekomunikasi ditetapkan dan digunakan sistem penomoran.
2. Sistem penomoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh Menteri.
Pasal 24
Permintaan penomoran oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan
atau penyelenggara jasa telekomunikasi diberikan berdasarkan sistem
penomoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.
Bagian Ketujuh
lnterkoneksi dan Biaya Hak Penyelenggaraan
Pasal 25
1. Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi berhak untuk
mendapatkan interkoneksi dan penyelenggara jaringan
telekomunikasi lainnya.
2. Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyediakan
interkoneksi apabila diminta oleh penyelenggara jaringan
telekomunikasi lainnya.
3. Pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dilakukan berdasarkan prinsip :
a. pemanfaatan sumber daya secara efisien;
b. keserasian sistem dan perangkat telekomunikasi;
c. peningkatan mutu pelayanan; dan
d. persaingan sehat yang tidak saling merugikan.
4. Ketentuan mengenai interkoneksi jaringan telekomunikasi, hak
dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
1. Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau
penyelenggara jasa telekomunikasi wajib membayar biaya hak
penyelenggaraan telekomunikasi yang diambil dari persentase
pendapatan.
2. Ketentuan mengenai biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kedelapan
Tarif
Pasal 27
Susunan tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau tarif
penyelenggaraan jasa telekomunikasi di atur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 28
Besaran tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi ditetapkan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi
dan atau jasa telekomunikasi dengan berdasarkan formula yang
ditetapkan oleh Pemerintah.
Bagian Kesembilan
Telekomunikasi Khusus
Pasal 29
1. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a dan huruf b, dilarang
disambungkan ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya.
2. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (3) huruf c, dapat disambungkan ke jaringan
penyelenggara telekomunikasi lainnya sepanjang digunakan untuk
keperluan penyiaran.
Pasal 30
1. Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau
penyelenggara jasa telekomunikasi belum dapat menyediakan akses
di daerah tertentu, maka penyelenggara telekomunikasi khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a, dapat
menyelenggarakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
huruf a dan huruf b setelah mendapat izin Menteri.
2. Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau
penyelenggara jasa telekomunikasi sudah dapat menyediakan akses
di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka
penyelenggara telekomunikasi khusus dimaksud tetap dapat
melakukan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi.
3. Syarat-syarat untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 31
1. Dalam keadaan penyelenggara telekomunikasi khusus unluk
keperluan pertahanan keamanan negara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (3) huruf b belum atau tidak mampu mendukung
kegiatannya, penyelenggara telekomunikasi khusus dimaksud dapat
menggunakan atau memanfaatkan jaringan telekomunikasi yang
dimiliki dan atau digunakan oleh penyelenggara telekomunikasi
lainnya.
2. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kesepuluh
Perangkat Telekomunikasi,
Spektrum Frekuensi Radio, dan Orbit Satelit
Pasal 32
1. Perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan, dibuat, dirakit,
dimasukkan dan atau digunakan di wilayah Negara Republik
Indonesia wajib memperhatikan persyaratan teknis dan
berdasarkan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
2. Ketentuan mengenai persyaratan teknis perangkat telekomunikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 33
1. Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit wajib
mendapatkan izin Pemerintah.
2. Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit harus
sesuai dengan peruntukannya dan tidak saling mengganggu.
3. Pemerintah melakukan pengawasan dan pengendalian penggunaan
spektrum frekuensi radio dan orbit satelit.
4. Ketentuan penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit
yang digunakan dalam penyelenggaraan telekomunikasi diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 34
1. Pengguna spektrum frekuensi radio wajib membayar biaya
penggunaan frekuensi, yang besarannya didasarkan atas
penggunaan jenis dan lebar pita frekuensi.
2. Pengguna orbit satelit wajib membayar biaya hak penggunaan
orbit satelit.
3. Ketentuan mengenai biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 35
1. Perangkat telekomunikasi yang digunakan oleh kapal berbendera
asing dan dan ke wilayah perairan Indonesia dan atau yang
dioperasikan di wilayah perairan Indonesia tidak diwajibkan
memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32.
2. Spektrum frekuensi radio dilarang digunakan oleh kapal
berbendera asing yang berada di wilayah perairan Indonesia di
luar peruntukannya, kecuali :
a. untuk kepentingan keamanan negara, keselamatan jiwa
manusia dan harta benda, bencana alam, keadaan marabahaya,
wabah, navigasi, dan keamanan lalu lintas pelayaran;
atau
b. disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang dioperasikan
oleh penyelenggara telekomunikasi; atau
c. merupakan bagian dan sistem komunikasi satelit yang
penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam
penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak pelayaran.
3. ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 36
1. Perangkat telekomunikasi yang digunakan oleh pesawat udara
sipil asing dan dan ke wilayah udara Indonesia tidak diwajibkan
memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32.
2. Spektrum frekuensi radio dilarang digunakan oleh pesawat udara
sipil asing dan dan ke wilayah udara Indonesia di luar
peruntukannya, kecuali :
a. untuk kepentingan keamanan negara, keselamatan jiwa
manusia dan harta benda, bencana alam, keadaan marabahaya,
wabah, navigasi, dan keselamatan lalu lintas penerbangan;
atau
b. disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang dioperasikan
oleh penyelenggara telekomunikasi; atau
c. merupakan bagian dan sistem komunikasi satelit yang
penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam
penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak
penerbangan.
3. Ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 37
Pemberian izin penggunaan perangkat telekomunikasi yang menggunakan
spektrum frekuensi radio untuk perwakilan diplomatik di Indonesia
dilakukan dengan memperhatikan asas timbal balik.
Bagian Kesebelas
Pengamanan Telekomunikasi
Pasal 38
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan
gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap penyelenggaraan
telekomunikasi.
Pasal 39
1. Penyelenggara telekomunikasi wajib melakukan pengamanan dan
perlindungan terhadap instalasi dalam jaringan telekomunikasi
yang digunakan untuk penyelenggaraan telekomunikasi.
2. Ketentuan pengamanan dan perlindungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 40
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi
yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun.
Pasal 41
Dalam rangka pembuktian kebenaran pemakaian fasilitas telekomunikasi
atas permintaan pengguna jasa telekomunikasi, penyelenggara jasa
telekomunikasi wajib melakukan perekaman pemakaian fasilitas
telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna jasa telekomunikasi dan
dapat melakukan perekaman informasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 42
1. Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakan informasi
yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa
telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi yang diselenggarakannya.
2. Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa
telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau
diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat
memberikan informasi yang diperlukan atas:
a. permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala
Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana
tertentu;
b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai
dengan Undang-undang yang berlaku.
3. Ketentuan mengenai tata cara permintaan dan pemberian rekaman
informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 43
Pemberian rekaman informasi oleh penyelenggara jasa telekomunikasi
kepada pengguna jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
41 dan untuk kepentingan proses peradilan pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 ayat (2), tidak merupakan pelanggaran Pasal 40.
BAB V
PENYIDIKAN
Pasal 44
1. Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana
untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang
telekomunikasi.
2. Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau
keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang
telekomunikasi;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang dan atau badan hukum
yang diduga melakukan tindak pidana di bidang
telekomunikasi;
c. menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat
telekomunikasi yang menyimpang dan ketentuan yang
berlaku;
d. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
saksi atau tersangka;
e. melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat
telekomunikasi yang diduga digunakan atau diduga
berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
f. menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan
tindak pidana di bidang telekomunikasi;
g. menyegel dan atau menyita alat dan atau perangkat
telekomunikasi yang digunakan atau yang diduga berkaitan
dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
h. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi; dan
i. mengadakan penghentian penyidikan.
3. Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Hukum Acara
Pidana.
BAB VI
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 45
Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1), Pasal 18 ayat (2),
Pasal 19, Pasal 21, Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29
ayat (1), Pasal 29 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal 33 ayat (2),
Pasal 34 ayat (1), atau Pasal 34 ayat (2) dikenai sanksi
administrasi.
Pasal 46
1. Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 berupa
pencabutan izin.
2. Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
setelah diberi peringatan tertulis.
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 47
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah).
Pasal 48
Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 49
Penyelenggara telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah).
Pasal 50
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah).
Pasal 51
Penyelenggara telekomunikasi khusus yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) atau Pasal 29 ayat (2),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau
denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Pasal 52
Barang siapa memperdagangkan, membuat, merakit, memasukkan atau
menggunakan perangkat telekomunikasi di wilayah Negara Republik
Indonesia yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 53
1. Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 ayat (1) atau Pasal 33 ayat (2), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda
paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
2. Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan matinya seseorang, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 54
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 ayat (2) atau Pasal 36 ayat (2), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus jula rupiah).
Pasal 55
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah).
Pasal 56
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun.
Pasal 57
Penyelenggara jasa telekomunikasi yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 58
Alat dan perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 52 atau Pasal 56
dirampas untuk negara dan atau dimusnahkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 59
Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49,
Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56,
dan Pasal 57 adalah kejahatan.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 60
Pada saat berlakunya Undang-undang ini, penyelenggara telekomunikasi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang
Telekomunikasi, tetap dapat menjalankan kegiatannya dengan ketentuan
dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-undang ini
dinyatakan berlaku wajib menyesuaikan dengan Undang-undang ini.
Pasal 61
1. Dengan berlakunya Undang-undang ini, hak-hak tertentu yang
telah diberikan oleh Pemerintah kepada Badan Penyelenggara
untuk jangka waktu tertentu berdasarkan Undang-undang Nomor 3
Tahun 1989 masih berlaku.
2. Jangka waktu hak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dipersingkat sesuai dengan kesepakatan antara Pemerintah
dan Badan Penyelenggara.
Pasal 62
Pada saat Undang-undang ini berlaku semua peraturan pelaksanaan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi (Lembaran
Negara Tahun 1989 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3391)
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan atau belum
diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-undang ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 63
Dengan berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989
tentang Telekomunikasi dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 64
Undang-undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun sejak tanggal
diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 8 September 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
t.t.d
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 8 September 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
t.t.d.
MULADI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 154
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan I,
Lambock V. Nahattands
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 1999
TENTANG
TELEKOMUNIKASI
U M U M
Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang
Telekomunikasi, pembangunan dan penyelenggaraan telekomunikasi telah
menunjukkan peningkatan peran penting dan strategis dalam menunjang
dan mendorong kegiatan perekonomian, memantapkan pertahanan dan
keamanan, mencerdaskan kehidupan bangsa, memperlancar kegiatan
pemerintahan, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa dalam
kerangka wawasan nusantara, dan memantapkan ketahanan nasional serta
meningkatkan hubungan antar bangsa.
Perubahan lingkungan global dan perkembangan teknologi telekomunikasi
yang berlangsung sangat oepat telah mendorong terjadinya perubahan
mendasar, melahirkan lingkungan telekomunikasi yang baru, dan
perubahan cara pandang dalam penyelenggaraan telekomunikasi, termasuk
hasil konvergensi dengan teknologi informasi dan penyiaran, sehingga
dipandang perlu mengadakan penataan kembali penyelenggaraan
telekomunikasi nasional.
Penyesuaian dalam penyelenggaraan telekomunikasi di tingkat nasional
sudah merupakan kebutuhan nyata, mengingat meningkatnya kemampuan
sektor swasta dalam penyelenggaraan telekomunikasi, penguasaan
teknologi telekomunikasi, dan keunggulan kompetitif dalam rangka
memenuhi kebutuhan masyarakat.
Perkembangan teknologi telekomunikasi di tingkat internasional yang
diikuti dengan peningkatan penggunaannya sebagai salah satu komoditas
perdagangan, yang memiliki nilai komersial tinggi, telah mendorong
terjadinya berbagai kesepakatan multilateral.
Sebagai negara yang aktif dalam membina hubungan antarnegara atas
dasar kepentingan nasional, keikutsertaan Indonesia dalam berbagai
kesepakatan multilateral menimbulkan berbagai konsekuensi yang harus
dihadapi dan diikuti. Sejak penandatanganan General Agreement on
Trade and Services (GATS) di Marrakesh, Maroko, pada tanggal 15 April
1994, yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994,
penyelenggaraan telekomunikasi nasional menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem perdagangan global.
Sesuai dengan prinsip perdagangan global, yang menitikberatkan pada
asas perdagangan bebas dan tidak diskriminatif, Indonesia harus
menyiapkan diri untuk menyesuaikan penyelenggaraan telekomunikasi.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, maka peran Pemerintah
dititikberatkan pada pembinaan yang meliputi penentuan kebijakan,
pengaturan, pengawasan dan pengendalian dengan mengikutsertakan peran
masyarakat.
Peningkatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan telekomunikasi
tidak mengurangi prinsip dasar yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945, yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, hal-hal yang
menyangkut pemanfaatan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit
yang merupakan sumber daya alam yang terbatas dikuasai oleh negara.
Dengan tetap berpijak pada arah dan kebijakan pembangunan nasional
serta dengan memperhatikan perkembangan yang berlangsung baik secara
nasional maupun internasional, terutama di bidang teknologi
telekomunikasi, norma hukum bagi pembinaan dan penyelenggaraan
telekomunikasi yang diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989
tentang Telekomunikasi perlu diganti.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 Cukup jelas.
Pasal 2
Penyelenggaraan telekomunikasi memperhatikan dengan sungguhsungguh
asas pembangunan nasional dengan mengutamakan asas
manfaat, asas adil dan merata, asas kepastian hukum dan asas
kepercayaan pada diri sendiri, serta memperhatikan pula asas
keamanan, kemitraan, dan etika.
Asas manfaat berarti bahwa pembangunan telekomunikasi khususnya
penyelenggaraan telekomunikasi akan lebih berdaya guna dan
berhasil guna baik sebagai infrastruktur pembangunan, sarana
penyelenggaraan pemerintahan, sarana pendidikan, sarana
perhubungan, maupun sebagai komoditas ekonomi yang dapat lebih
meningkatkan kesejahteraan masyarakat Iahir batin.
Asas adil dan merata adalah bahwa penyelenggaraan
telekomunikasi memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama
kepada semua pihak yang memenuhi syarat dan hasil-hasilnya
dinikmati oleh masyarakat secara adil dan merata.
Asas kepastian hukum berarti bahwa pembangunan telekomunikasi
khususnya penyelenggaraan telekomunikasi harus didasarkan
kepada peraturan perundang-undangan yang menjamin kepastian
hukum, dan memberikan perlindungan hukum baik bagi para
investor, penyelenggara telekomunikasi, maupun kepada pengguna
telekomunikasi.
Asas kepercayaan pada diri sendiri, dilaksanakan dengan
memanfaatkan secara maksimal potensi sumber daya nasional
secara efisien serta penguasaan teknologi telekomunikasi,
sehingga dapat meningkatkan kemandirian dan mengurangi
ketergantungan sebagai suatu bangsa dalam menghadapi persaingan
global.
Asas kemitraan mengandung makna bahwa penyelenggaraan
telekomunikasi harus dapat mengembangkan iklim yang harmonis,
timbal balik, dan sinergi dalam penyelenggaraan
telekomunikasi.
Asas keamanan dimaksudkan agar penyelenggaraan telekomunikasi
selalu memperhatikan faktor keamanan dalam perencanaan,
pembangunan, dan pengoperasiannya.
Asas etika dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan
telekomunikasi senantiasa dilandasi oleh semangat
profesionalisme, kejujuran, kesusilaan, dan keterbukaan.
Pasal 3
Tujuan penyelenggaraan telekomunikasi dalam ketentuan ini dapat
dicapai, antara lain, melalui reformasi telekomunikasi untuk
meningkatkan kinerja penyelenggaraan telekomunikasi dalam
rangka menghadapi globalisasi, mempersiapkan sektor
telekomunikasi memasuki persaingan usaha yang sehat dan
profesional dengan regulasi yang transparan, serta membuka
lebih banyak kesempatan berusaha bagi pengusaha kecil dan
menengah.
Pasal 4
Ayat (1)
Mengingat telekomunikasi merupakan salah satu cabang
produksi yang penting dan strategis dalam kehidupan
nasional, maka penguasaannya dilakukan oleh negara, yang
dalam penyelenggaraannya ditujukan untuk sebesar-besarnya
bagi kepentingan dan kemakmuran rakyat.
Ayat (2)
Fungsi penetapan kebijakan, antara lain, perumusan
mengenai perencanaan dasar strategis dan perencanaan
dasar teknis telekomunikasi nasional.
Fungsi pengaturan mencakup kegiatan yang bersifat umum
dan atau teknis operasional yang antara lain, tercermin
dalam pengaturan perizinan dan persyaratan dalam
penyelenggaraan telekomunikasi.
Fungsi pengendalian dilakukan berupa pengarahan dan
bimbingan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi.
Fungsi pengawasan adalah pengawasan terhadap
penyelenggaraan telekomunikasi, termasuk pengawasan
terhadap penguasaan, pengusahaan, pemasukan, perakitan,
penggunaan frekuensi dan orbit satelit, serta alat,
perangkat, sarana dan prasarana telekomunikasi.
Fungsi penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan
pengendalian dilaksanakan oleh Menteri. Sesuai dengan
perkembangan keadaan, fungsi pengaturan, pengawasan dan
pengendalian penyelenggaraan telekomunikasi dapat
dilimpahkan kepada suatu badan regulasi.
Dalam rangka efektivitas pembinaan, pemerintah melakukan
koordinasi dengan instansi terkait, penyelenggara
telekomunikasi, dan mengikutsertakan peran masyarakat.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 6
Sesuai dengan ketentuan Konvensi Telekomunikasi lnternasional,
yang dimaksud dengan Administrasi Telekomunikasi adalah Negara
yang diwakili oleh pemerintah negara yang bersangkutan. Dalam
hal ini Administrasi Telekomunikasi melaksanakan hak dan
kewajiban Konvensi Telekomunikasi lnternasional, dan peraturan
yang menyertainya.
Administrasi Telekomunikasi Indonesia juga melaksanakan hak dan
kewajiban peraturan internasional lainnya seperti peraturan
yang ditetapkan lntelsat (International Telecommunication
Satellite Organization) dan lnmarsat (International Maritime
Satellite Organization) serta perjanjian internasional di
bidang telekomunikasi lainnya yang diratifikasi Indonesia.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus antara lain
untuk keperluan meteorologi dan geofisika, televisi
siaran, radio siaran, navigasi, penerbangan,
pencarian dan pertolongan kecelakaan, amatir radio,
komunikasi radio antar penduduk dan penyelenggaraan
telekomunikasi khusus instansi pemerintah
tertentu/swasta.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Penyelenggara jasa telekomunikasi yang memerlukan
jaringan telekomunikasi dapat menggunakan jaringan yang
dimilikinya dan atau menyewa dan penyelenggara jaringan
telekomunikasi lain.
Jaringan telekomunikasi yang disewa pada dasarnya
digunakan untuk keperluan sendiri, namun apabila
disewakan kembali kepada pihak lain, maka yang menyewakan
kembali tersebut harus memperoleh izin sebagai
penyelenggara jaringan telekomunikasi.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan penyelenggaraan telekomunikasi
khusus untuk keperluan perseorangan adalah
penyelenggaraan telekomunikasi guna memenuhi
kebutuhan perseorangan, misalnya amatir radio dan
komunikasi radio antar penduduk.
Huruf b
Yang dimaksud dengan penyelenggaraan telekomunikasi
khusus untuk keperluan instansi pemerintah adalah
penyelenggaraan telekomunikasi untuk mendukung
pelaksanaan tugas-tugas umum instansi tersebut,
misalnya, komunikasi departemen atau komunikasi
pemerintah daerah.
Huruf c
Yang dimaksud dengan penyelenggaraan telekomunikasi
khusus untuk dinas khusus adalah penyelenggaraan
telekomunikasi untuk mendukung kegiatan dinas yang
bersangkutan, antara lain, kegiatan navigasi,
penerbangan, atau meteorologi.
Huruf d
Yang dimaksud dengan penyelenggaraan telekomunikasi
khusus untuk badan hukum adalah penyelenggaraan
telekomunikasi yang dilakukan oleh Badan Usaha
Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Badan Usaha
swasta, atau koperasi, misalnya telekomunikasi
perbankan, telekomunikasi pertambangan, atau
telekomunikasi perkeretaapian.
Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Pasal ini dimaksudkan agar terjadi kompetisi yang sehat
antar penyelenggara telekomunikasi dalam melakukan
kegiatannya.
Peraturan perundang-undangan yang berlaku dimaksud adalah
Undang-undang Nomon 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat serta peraturan
pelaksanaannya.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Perizinan penyelenggaraan telekomunikasi dimaksudkan
sebagai upaya Pemerintah dalam rangka pembinaan untuk
mendorong pertumbuhan penyelenggaraan telekomunikasi yang
sehat.
Pemerintah berkewajiban untuk mempublikasikan secara
berkala atas daerah/wilayah yang terbuka untuk
penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi.
Penyelenggaraan telekomunikasi wajib memenuhi persyaratan
yang ditetapkan dalam perizinan. Penyelenggaraan
telekomunikasi guna keperluan eksperimen diberi izin
khusus untuk jangka waktu tertentu.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan memanfaatkan atau melintasi tanah
negara dan atau bangunan yang dimiliki/dikuasai oleh
Pemerintah adalah kemudahan yang diberikan kepada
penyelenggara telekomunikasi.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan instansi pemerintah adalah instansi
yang secara langsung menguasai, memiliki, dan atau
menggunakan tanah dan atau bangunan.
Pasal 13
Yang dimaksud dengan perseorangan adalah orang seorang dan atau
badan hukum yang secara langsung menguasai, memiliki dan atau
menggunakan tanah dan atau bangunan yang dimanfaatkan atau
dilintasi.
Dalam rangka memberi perlindungan hukum terhadap hak miIik
perseorangan maka pemanfaatannya harus mendapat persetujuan
para pihak.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Ganti rugi oleh penyelenggara telekomunikasi diberikan
kepada pengguna atau masyarakat Iuas yang dirugikan
karena kelalaian atau kesalahan penye!enggara
telekomunikasi.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyelesaian ganti rugi dilaksanakan dengan cara melalui
mediasi atau arbitrase atau konsiliasi. Cara-cara
tersebut dimaksudkan sebagai upaya bagi para pihak untuk
mendapatkan penyelesaian dengan cara cepat. Apabila
penyelesaian ganti rugi melalui cara tersebut di atas
tidak berhasil, maka dapat diselesaikan melalui
pengadilan.
Pasal 16
Ayat (1)
Kewajiban pelayanan universal (universal service
obligation) merupakan kewajiban penyediaan jaringan
telekomunikasi oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi
agar kebutuhan masyarakat terutama di daerah terpencil
dan atau belum berkembang untuk mendapatkan akses telepon
dapat dipenuhi.
Dalam penetapan kewajiban pelayanan universal, pemerintah
memperhatikan prinsip ketersediaan pelayanan jasa
telekomunikasi yang menjangkau daerah berpenduduk dengan
mutu yang baik dan tarif yang layak.
Kewajiban pelayanan universal terutama untuk wilayah yang
secara geografis terpencil dan yang secara ekonomi belum
berkembang serta membutuhkan biaya pembangunan tinggi
termasuk di daerah perintisan, pedalaman, pinggiran,
terpencil dan atau daerah yang secara ekonomi kurang
menguntungkan.
Kewajiban membangun fasilitas telekomunikasi untuk
pelayanan universal dibebankan kepada penyelenggara
jaringan telekomunikasi tetap yang telah mendapatkan izin
dan pemerintah berupa jasa Sambungan Langsung Jarak Jauh
(SLJJ) dan atau jasa sambungan lokal. Penyelenggara
jaringan telekomunikasi lainnya di luar kedua jenis jasa
di atas diwajibkan memberikan kontribusi.
Ayat (2)
Kompensasi lain sebagaimana dimaksud dalam kewajiban
pelayanan universal adalah kontribusi biaya untuk
pembangunan yang dibebankan melalui biaya interkoneksi.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Pencatatan pemakaian jasa telekomunikasi merupakan
kewajiban penyelenggara yang pelaksanaannya dilakukan
secara bertahap dan berlaku hanya untuk pelayanan jasa
telepon Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) dan
Sambungan Langsung lnternasional (SLI) sepanjang diminta
oleh pengguna jasa telekomunikasi.
Perekaman pemakaian jasa telekomunikasi adalah rekaman
rincian data tagihan (billing), yang digunakan untuk
membuktikan pemakaian jasa telekomunikasi.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 19
Bila jaringan telekomunikasi terhubung dengan beberapa jaringan
lain yang menyelenggarakan jasa yang sama, maka pengguna
jaringan tersebut harus dijamin kebebasannya untuk memilih
salah satu dan jaringan yang terhubung tadi melalui penomoran
yang ditentukan.
Pada dasarnya pengguna berhak memilih penyelenggara jaringan
dan atau jasa telekomunikasi untuk menyalurkan hubungan
telekomunikasinya. Dalam pelaksanaannya penyelenggara jaringan
dan atau jasa telekomunikasi dapat mengubah rute hubungan dan
pengguna ke jaringan penyelenggara lain tanpa sepengetahuan
pengguna.
Apabila terjadi, hal di atas bertentangan dengan prinsip
persaingan sehat yang dapat merugikan baik bagi penyelenggara
maupun bagi pengguna.
Pasal 20
Pengiriman informasi adalah tahap awal dan proses
bertelekomunikasi, dilanjutkan dengan kegiatan penyaluran
sebagai proses antara, dan diakhiri dengan kegiatan penyampaian
informasi untuk penerimaan pihak yang dituju. Prioritas
pengiriman, penyaluran dan penyampaian informasi yang akan
ditetapkan oleh pemerintah antara lain berita tentang musibah.
Pasal 21
Penghentian kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi dapat
dilakukan oleh pemerintah setelah diperoleh informasi yang
patut diduga dengan kuat dan diyakini bahwa penyelenggaraan
telekomunikasi tersebut melanggar kepentingan umum, kesusilaan,
keamanan, atau ketertiban umum.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan agar kebutuhan atas penomoran
dan penyelenggara jaringan dan penyelenggara jasa
telekomunikasi serta penggunanya dapat dipenuhi secara
adil dan selaras dengan ketentuan internasional.
Nomor adalah rangkaian tanda dalam bentuk angka terdiri
atas kode akses dan nomor pelanggan yang dipergunakan
untuk mengidentifikasi suatu alamat pada jaringan atau
pelayanan telekomunikasi.
Ayat (2)
Penomoran adalah sumber daya terbatas dan oleh karena itu
sistem penomoran diatur oleh Menteri secara adil.
Penomoran pada jaringan telekomunikasi terkait dengan
teknologi dan ketentuan internasional.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi adalah kewajiban
yang dikenakan kepada penyelenggara jaringan dan atau
jasa telekomunikasi sebagai kompensasi atas perizinan
yang diperolehnya dalam penyelenggaraan jaringan dan atau
jasa telekomunikasi, yang besarnya ditetapkan berdasarkan
persentase dan pendapatan dan merupakan Pendapatan Negara
Bukan Pajak (PNBP) yang disetor ke Kas Negara.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 27
Susunan tarif jaringan dan atau jasa telekomunikasi meliputi
struktur dan jenis tarif ditetapkan oleh pemerintah.
Berdasarkan struktur dan jenis tersebut, penyelenggara jaringan
telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi dapat menetapkan
besaran tarif.
Struktur tarif terdiri atas biaya pasang baru (aktivasi), biaya
berlangganan bulanan, biaya penggunaan, dan biaya jasa tambahan
(feature). Jenis tarif terdiri atas tarif pulsa lokal, tarif
pulsa SLJJ, tarif SLI, dan air time untuk jasa sambungan
telepon bergerak.
Pasal 28
Formula sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pola
perhitungan untuk menetapkan besaran tarif.
Formula tarif terdiri atas formula tarif awal dan formula tarif
perubahan.
Dalam menerapkan formula tarif awal, yang harus diperhatikan
adalah komponen biaya, sedangkan untuk menetapkan formula
besaran tarif perubahan diperhatikan juga antara lain faktor
inflasi, kemampuan masyarakat, dan kesinambungan pembangunan
telekomunikasi.
Pasal 29
Ayat (1)
Larangan bagi penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk
disambungkan ke jaringan penyelenggara telekomunikasi
lainnya dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum bagi
ruang lingkup penyelenggaraan telekomunikasi khusus yang
memang hanya untuk keperluan sendiri.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengatasi masalah
kebutuhan jasa telekomunikasi di suatu daerah yang karena
keadaan tertentu belum dapat dijangkau oleh jasa
telekomunikasi. Oleh karena itu Undang-undang ini
memandang perlu memberikan kemungkinan kepada
penyelenggara telekomunikasi khusus yang sebenarnya hanya
bergerak untuk kepentingan sendiri dapat memberikan
pelayanan jasa telekomunikasi kepada masyarakat yang
bertempat tinggal di daerah tersebut.
Ayat (2)
Peyelenggara telekomunikasi khusus yang menyelenggarakan
jaringan dan atau jasa telekomunikasi dapat melanjutkan
penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi
dengan pertimbangan investasi yang telah dilakukannya dan
kesinambungan pelayanan kepada pengguna.
Dalam hal ini penyelenggara telekomunikasi khusus yang
bersangkutan wajib memenuhi seluruh ketentuan yang
berlaku bagi penyelenggaraan jaringan dan atau jasa
telekomunikasi.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Untuk keperluan pertahanan keamanan negara, fasilitas
telekomunikasi yang dimiliki oleh penyelenggara
telekomunikasi lainnya dapat dimanfaatkan.
Penggunaan atau pemanfaatan jaringan telekomunikasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dilakukan sepanjang
jaringan telekomunikasi untuk keperluan pertahanan
keamanan negara, yang dalam hal ini oleh Tentara Nasional
Indonesia, tidak dapat berfungsi atau tidak tersedia.
Dalam hal negara dalam keadaan bahaya ketentuan ayat ini
tidak berlaku.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Persyaratan teknis alat/perangkat telekomunikasi
merupakan syarat yang diwajibkan terhadap alat perangkat
telekomunikasi agar pada waktu dioperasikan tidak saling
mengganggu alat/perangkat telekomunikasi lain dan atau
jaringan telekomunikasi atau alat atau perangkat selain
perangkat telekomunikasi.
Persyaratan teknis dimaksud lebih ditujukan terhadap
fungsi alat/perangkat telekomunikasi yang berupa
parameter elektris/elektronis serta dengan memperhatikan
pula aspek di luar parameter elektris/elektronis sesuai
dengan ketentuan yang berlaku dan aspek lainnya, misalnya
lingkungan, keselamatan, dan kesehatan. Untuk menjamin
pemenuhan persyaratan teknis alat atau perangkat
telekomunikasi, setiap alat atau perangkat telekomunikasi
dimaksud harus diuji oleh balai uji yang diakui oleh
pemerintah atau institusi yang berwenang. Ketentuan
persyaratan teknis memperhatikan standar teknis yang
berlaku secara internasional, mempertimbangkan
kepentingan masyarakat, dan harus berdasarkan pada
teknologi yang terbuka.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Pemberian izin penggunaan spektrum frekuensi radio dan
orbit satelit didasarkan kepada ketersediaan spektrum
frekuensi radio yang telah dialokasikan untuk keperluan
penyelenggaraan telekomunikasi termasuk siaran sesuai
peruntukannya. Tabel alokasi frekuensi radio
disebarluaskan dan dapat diketahui oleh masyarakat secara
transparan. Apabila ketersediaan spektrum frekuensi radio
dan orbit satelit tidak memenuhi permintaan atau
kebutuhan penyelenggaraan telekomunikasi, maka perolehan
izinnya antara lain dimungkinkan melalui mekanisme
pelelangan.
Ayat (2)
Frekuensi radio adalah jumlah getaran elektromagnetik
untuk 1 (satu) periode, sedangkan spektrum frekuensi
radio adalah kumpulan frekuensi radio.
Penggunaan frekuensi radio didasarkan pada ruang, jumlah
getaran, dan lebar pita, yang hanya dapat digunakan oleh
1 (satu) pihak. Penggunaan secara bersamaan pada ruang,
jumlah getaran, dan lebar yang sama atau berhimpitan akan
saling mengganggu.
Frekuensi dalam telekomunikasi digunakan untuk membawa
atau menyalurkan informasi. Dengan demikian agar
informasi dapat dibawa atau disalurkan dengan baik tanpa
gangguan maka penggunaan frekuensinya harus diatur.
Pengaturan frekuensi antara lain mengenai pengalokasian
pita frekuensi dan peruntukannya.
Orbit satelit adalah suatu lintasan di angkasa yang
dilalui oleh suatu pusat masa satelit. Orbit satelit
terdiri atas orbit satelit geostasioner, orbit satelit
rendah, dan orbit satelit menengah.
Orbit satelit geostasioner adalah suatu lintasan yang
dilalui oleh suatu pusat masa satelit yang disebabkan
oleh gaya gravitasi bumi, mempunyai kedudukan tetap
terhadap bumi. Orbit satelit geostasioner berada di atas
khatulistiwa dengan ketinggian 36.000 km.
Orbit satelit rendah dan menengah adalah suatu lintasan
yang dilalui oleh suatu pusat masa satelit yang
kedudukannya tidak tetap terhadap bumi. Ketinggian orbit
satelit rendah sekitar 1.500 km dan orbit satelit
menengah sekitar 11.000 km.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio merupakan
kompensasi atas penggunaan frekuensi sesuai dengan izin
yang diterima. Di samping itu, biaya penggunaan frekuensi
dimaksudkan juga sebagai sarana pengawasan dan
pengendalian agar frekuensi radio sebagai sumber daya
alam terbatas dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Besarnya biaya penggunaan frekuensi ditentukan
berdasarkan jenis dan lebar pita frekuensi. Jenis
frekuensi akan berpengaruh pada mutu penyelenggaraan,
sedangkan lebar pita frekuensi akan berpengaruh pada
kapasitas/jumlah informasi yang dapat dibawa/dikirimkan.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan wilayah perairan Indonesia adalah
wilayah laut teritorial termasuk perairan dalam.
Dengan demikian, pengertian ini menjangkau konsepsi
negara kepulauan sebagaimana diakui dalam Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut
lnternasional yang selanjutnya telah diratifikasi dengan
Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985.
Karena kapal berbendera asing tersebut telah dilengkapi
dengan perangkat telekomunikasi yang pemasangan dan
pengoperasiannya mengikuti ketentuan yang berlaku di
negaranya, maka ketentuan tentang persyaratan teknis yang
ditetapkan Menteri tidak dapat diterapkan kepadanya.
Penggunaan perangkat telekomunikasi tersebut di wilayah
perairan Indonesia tetap harus mengikuti ketentuan
internasional yang berlaku, yakni prinsip tidak saling
mengganggu dan sesuai dengan peruntukannya.
Ayat (2)
Larangan menggunakan spektrum frekuensi radio atau orbit
satelit di wilayah perairan Indonesia dimaksudkan untuk
melindungi keamanan negara dan untuk mencegah
dirugikannya penyelenggaraan telekomunikasi.
Dinas bergerak pelayaran (maritime mobile service) adalah
telekomunikasi antara stasiun pantai dan stasiun kapal,
antarstasiun kapal, antarstasiun komunikasi pelengkap di
kapal, stasiun kendaraan penyelamat, atau stasiun rambu
radio penunjuk posisi darurat.
Ketentuan ini hanya berlaku untuk kapal sipil dan tidak
berlaku bagi kapal milik Tentara Nasional Indonesia.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Ketentuan teknis tentang perangkat telekomunikasi yang
ditetapkan Pemerintah tidak dapat diterapkan kepada
pesawat udara asing karena pesawat udara asing tersebut
mengikuti ketentuan yang berlaku di negaranya.
Penggunaan perangkat telekomunikasi tersebut tetap harus
mengikuti ketentuan mnternasional yang berlaku, yakni
prinsip tidak saling mengganggu dan sesuai dengan
peruntukkannya.
Ayat (2)
Larangan menggunakan spektrum frekuensi radio atau orbit
satelit di wilayah udara Indonesia dimaksudkan untuk
melindungi keamanan negara dan untuk mencegah
dirugikannya penyelenggaraan telekomunikasi.
Dinas bergerak penerbangan (aeronautical mobile service)
adalah telekomunikasi antara stasiun penerbangan dan
stasiun pesawat udara, antarstasiun pesawat udara yang
juga dapat mencakup stasiun kendaraan penyelamat, dan
stasiun rambu radio penunjuk posisi darurat.
Dinas tersebut beroperasi pada frekuensi yang ditentukan
untuk marabahaya dan keadaan darurat.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 37
Asas timbal balik yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah asas
dalam hubungan internasional untuk memberikan perlakuan yang
sama kepada perwakilan diplomatik asing di Indonesia
sebagaimana perlakuan yang diberikan kepada perwakilan
Indonesia di negara yang bersangkutan.
Pasal 38
Perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap
penyelenggaraan telekomunikasi dapat berupa
a. tindakan fisik yang menimbulkan kerusakan suatu jaringan
telekomunikasi sehingga jaringan tersebut tidak dapat
berfungsi sebagaimana mestinya;
b. tindakan fisik yang mengakibatkan hubungan telekomunikasi
tidak berjalan sebagaimana mestinya;
c. penggunaaan alat telekomunikasi yang tidak sesuai dengan
persyaratan teknis yang berlaku;
d. penggunaan alat telekomunikasi yang bekerja dengan
gelombang radio yang tidak sebagaimana mestinya sehingga
menimbulkan gangguan terhadap penyelenggaraan
telekomunikasi lainnya; atau
e. penggunaan alat bukan telekomunikasi yang tidak
sebagaimana mestinya sehingga menimbulkan pengaruh teknis
yang tidak dikehendaki suatu penyelenggaraan
telekomunikasi.
Pasal 39
Ayat (1)
Kegiatan pengamanan telekomunikasi dilaksanakan oleh
penyelenggara telekomunikasi yang dimulai sejak
perencanaan pembangunan sampai dengan akhir masa
pengoperasian. Lingkup perencanaan pembangunan termasuk
antara lain rancang bangun dan rekayasa, yang harus
memperhitungkan perlindungan dan pengamanan terhadap
gangguan elektromagnetis, alam, dan lingkungan.
Dalam kegiatan pengamanan dan perlindungan instalasi
penyelenggara mengikutsertakan masyarakat dan
berkoordinasi dengan pihak yang berwenang.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 40
Yang dimaksud dengan penyadapan dalam pasal ini adalah kegiatan
memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan
telekomunikasi untuk tujuan mendapatkan informasi dengan cara
tidak sah. Pada dasarnya informasi yang dimiliki oleh seseorang
adalah hak pribadi yang harus dilindungi sehingga penyadapan
harus dilarang.
Pasal 41
Rekaman informasi antara lain rekaman percakapan antar pihak
yang bertelekomunikasi.
Pasal 42
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan proses peradilan pidana dalam
ketentuan ini mencakup penyidikan, penuntutan, dan
penyidangan.
Huruf a
Yang dimaksud dengan tindak pidana tertentu adalah tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara selama 5 (lima)
tahun keatas, seumur hidup atau mati.
Huruf b
Contoh tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang
yang berlaku ialah tindak pidana yang sesuai dengan
Undang-undang tentang Narkotika dan tindak pidana yang
sesuai dengan Undang-undang tentang Psikotropika.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 45
Pengenaan sanksi administrasi dalam ketentuan ini dimaksudkan
sebagai upaya Pemerintah dalam rangka pengawasan dan
pengendalian penyelenggaraan telekomunikasi.
Pasal 46
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Gukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Badan Penyelenggara adalah Badan Penyelenggara sesuai
dengan yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun
1989.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan hal tertentu adalah hak
eksklusivitas untuk menyelenggarakan jasa telekomunikasi
tetap sambungan lokal, Sambungan Langsung Jarak Jauh
(SLJJ), dan Sambungan Langsung lnternasional (SLI) yang
diberikan oleh Pemerintah kepada Badan Penyelenggara.
Sejalan dengan jiwa Undang-undang ini yang akan
mengakhiri monopoli di bidang telekomunikasi, Pemerintah
dapat mempersingkat jangka waktu hak tertentu tersebut.
Untuk mempercepat berakhirnya jangka waktu hak tertentu
dilakukan melalui cara dan persyaratan yang disepakati
bersama, dengan memperhatikan prinsip kejujuran dan
keadilan serta keterbukaan (fairness). misalnya dengan
pemberian kompensasi.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3881

Tidak ada komentar: