Rabu, 16 Juni 2010

CyberLaw

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 15 Volume 4 Nomor 2, Agustus 2006
URGENSI CYBERLAW DI INDONESIA DALAM RANGKA PENANGANAN
CYBERCRIME DI SEKTOR PERBANKAN 1
Oleh : Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum
Direktorat Hukum Bank Indonesia
A. Pendahuluan
Saat ini pemanfaatan teknologi
informasi merupakan bagian penting
dari hampir seluruh aktivitas
masyarakat. Bahkan di dunia
perbankan hampir seluruh proses
penyelenggaraan sistem
pembayaran telah dilaksanakan
secara elektronik (paperless).
Perkembangan teknologi informasi
itu telah memaksa pelaku usaha
mengubah strategi bisnisnya dengan
menempatkan teknologi sebagai
unsur utama dalam proses inovasi
produk dan jasa. Pelayanan
electronic transaction (e-banking)
melalui ATM, phone banking dan
Internet banking misalnya,
merupakan bentuk-bentuk baru
dari delivery channel pelayanan
bank yang mengubah pelayanan
transaksi manual menjadi pelayanan
transaksi oleh teknologi.
Bagi perekonomian, kemajuan
teknologi memberikan manfaat yang
sangat besar, karena transaksi bisnis
dapat dilakukan secara seketika (real
time), yang berarti perputaran
ekonomi menjadi semakin cepat dan
dapat dilakukan tanpa hambatan
ruang dan waktu. Begitu juga dari
sisi keamanan, penggunaan
teknologi, memberikan
perlindungan terhadap keamanan
data dan transaksi. Contoh
mengenai hal ini adalah pada saat
terjadi bencana tsunami di NAD dan
Sumatera Utara tahun 2004, serta
gempa bumi di Yogyakarta barubaru
ini, bank-bank yang berbasis
teknologi sangat cepat melakukan
recovery karena didukung oleh
electronic data back-up yang
tersimpan di lokasi lain, sehingga
dengan cepat dapat kembali
melakukan pelayanan kepada
nasabahnya.
__________________________
1 Materi sebagian merupakan hasil penelitian “Rekonstruksi Hukum dalam Menanggulangi Kejahatan Dunia Maya
di Bidang Perbankan”, kerjasama penelitian antara Bank Indonesia dan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 16 Volume 4 Nomor 2, Agustus 2006
Namun demikian, di sisi lain,
perkembangan teknologi yang
begitu cepat tidak dapat dipungkiri
telah menimbulkan ekses negatif,
yaitu berkembangnya kejahatan
yang lebih canggih yang dikenal
sebagai Cybercrime, bahkan lebih
jauh lagi adalah dimanfaatkannya
kecanggihan teknologi informasi
dan komputer oleh pelaku kejahatan
untuk tujuan pencucian uang dan
kejahatan terorisme. Bentuk
kekhawatiran tersebut antara lain
tergambar dalam kasus yang
menyedot perhatian dunia baru-baru
ini yaitu tindakan yang konon
dilakukan oleh Amerika Serikat yang
melakukan kegiatan mata-mata
secara kontroversial untuk melacak
jutaan transaksi keuangan milik
warganya melalui data SWIFT secara
illegal. (Koran Tempo 29 Juni 2006).
B. Kejahatan Dunia Maya (Cyber
crime)
Apabila kita berbicara mengenai
kejahatan berteknologi tinggi seperti
kejahatan Internet atau cybercrime,
seolah-olah hukum itu ketinggalan
dari peristiwanya (het recht hink
achter de feiten aan). Seiring dengan
berkembangnya pemanfaatan
Internet, maka mereka yang
memiliki kemampuan dibidang
komputer dan memiliki maksudmaksud
tertentu dapat
memanfaatkan komputer dan
Internet untuk melakukan kejahatan
atau “kenakalan” yang merugikan
pihak lain.
Dalam dua dokumen Konferensi PBB
mengenai The Prevention of Crime
and the Treatment of Offenders di
Havana, Cuba pada tahun 1990 dan
di Wina, Austria pada tahun 2000,
ada dua istilah yang dikenal, yaitu
“cybercrime” dan “computer
related crime”. Dalam back ground
paper untuk lokakarya Konferensi
PBB X/2000 di Wina, Austria istilah
“cybercrime” dibagi dalam dua
kategori. Pertama, cybercrime dalam
arti sempit disebut “computer
crime”. Kedua, cybercrime dalam arti
luas disebut “computer related
crime”. Secara gamblang dalam
dokumen tersebut dinyatakan:
a. Cybercrime in a narrow sense
(computer crime) : any legal
behaviour directed by means of
electronic operations that targets
the security of computer system
and the data processed by them.
b. Cybercrime in a broader sense
(computer related crime) : any
illegal behaviour committed by
means on in relation to, a
computer system or network,
including such crime as illegal
possession, offering or
distributing information by
means of a computer system or
network.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 17 Volume 4 Nomor 2, Agustus 2006
Dengan demikian cybercrime
meliputi kejahatan, yaitu yang
dilakukan:
1. dengan menggunakan saranasarana
dari sistem atau jaringan
komputer (by means of a
computer system or network) ;
2. di dalam sistem atau jaringan
komputer (in a computer system
or network) ; dan
3. terhadap sistem atau jaringan
komputer (against a computer
system or network).
Dari definisi tersebut, maka dalam
arti sempit cybercrime adalah
computer crime yang ditujukan
terhadap sistem atau jaringan
komputer, sedangkan dalam arti
luas , cybercrime mencakup seluruh
bentuk baru kejahatan yang
ditujukan pada komputer, jaringan
komputer dan penggunanya serta
bentuk-bentuk kejahatan tradisional
yang sekarang dilakukan dengan
menggunakan atau dengan bantuan
peralatan komputer (computer
related crime). 2 Sementara itu
konsep Council Of Europe
memberikan klasifikasi yang lebih
rinci mengenai jenis-jenis
2 Laporan Konperensi PBB X/2000, 19-7-2000, hlm.26 :
The term “Computer-related crime” had been
developed to encompass both the entirely new forms
of crime that were directed at computers, networks
and their users, and the more traditional form of crime
that were now being committed with use or assistance
of computer aquipment., dalam Barda Nawawi Arief,
2001, Masalah Penegakan Hukum & Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hlm. 249 – 250.
cybercrime. Klasifikasi itu
menyebutkan bahwa cybercrime
digolongkan sebagai berikut: Illegal
access, Illegal interception, Data
interference, System interference,
Misuse of Device, Computer related
forgery, Computer related
fraud,Child-pornography dan
Infringements of copy rights &
related rights. Dalam kenyataannya,
satu rangkaian tindak cybercrime
secara keseluruhan, unsur-unsurnya
dapat masuk ke dalam lebih dari
satu klasifikasi di atas. Selanjutnya
hal ini akan lebih rinci dalam
penjelasan selanjutnya mengenai
contoh-contoh cybercrime.
Secara garis besar kejahatankejahatan
yang terjadi terhadap
suatu sistem atau jaringan komputer
dan yang menggunakan komputer
sebagai instrumenta delicti, mutatis
mutandis juga dapat terjadi di dunia
perbankan. Kegiatan yang potensial
menjadi target cybercrime dalam
kegiatan perbankan antara lain
adalah:
1. Layanan pembayaran
menggunakan kartu kredit pada
situs-situs toko online.
2. Layanan perbankan online
(online banking).
Dalam kaitannya dengan cybercrime,
maka sudut pandangnya adalah
kejahatan Internet yang menjadikan
pihak bank, merchant, toko online
atau nasabah sebagai korban, yang
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 18 Volume 4 Nomor 2, Agustus 2006
dapat terjadi karena maksud jahat
seseorang yang memiliki
kemampuan dalam bidang teknologi
informasi, atau seseorang yang
memanfaatkan kelengahan pihak
bank, pihak merchant maupun pihak
nasabah.
Beberapa bentuk potensi cybercrime
dalam kegiatan perbankan antara
lain :
1. Typo site: Pelaku membuat nama
situs palsu yang sama persis
dengan situs asli dan membuat
alamat yang mirip dengan situs
asli. Pelaku menunggu
kesempatan jika ada seorang
korban salah mengetikkan
alamat dan masuk ke situs palsu
buatannya. Jika hal ini terjadi
maka pelaku akan memperoleh
informasi user dan password
korbannya, dan dapat
dimanfaatkan untuk merugikan
korban
2. Keylogger/keystroke logger:
Modus lainnya adalah keylogger.
Hal ini sering terjadi pada
tempat mengakses Internet
umum seperti di warnet.
Program ini akan merekam
karakter-karakter yang
diketikkan oleh user dan
berharap akan mendapatkan
data penting seperti user ID
maupun password. Semakin
sering mengakses Internet di
tempat umum, semakin rentan
pula terkena modus operandi
yang dikenal dengan istilah
keylogger atau keystroke
recorder ini. Sebab, komputerkomputer
yang berada di warnet
digunakan berganti-ganti oleh
banyak orang. Cara kerja dari
modus ini sebenarnya sangat
sederhana, tetapi banyak para
pengguna komputer di tempat
umum yang lengah dan tidak
sadar bahwa semua aktivitasnya
dicatat oleh orang lain. Pelaku
memasang program keylogger di
komputer-komputer umum.
Program keylogger ini akan
merekam semua tombol
keyboard yang ditekan oleh
pengguna komputer berikutnya.
Di lain waktu, pemasang
keylogger akan mengambil hasil
“jebakannya” di komputer yang
sama, dan dia berharap akan
memperoleh informasi penting
dari para korbannya, semisal user
id dan password.
3. Sniffing: Usaha untuk
mendapatkan user ID dan
password dengan jalan
mengamati paket data yang
lewat pada jaringan komputer
4. Brute Force Attacking: Usaha
untuk mendapatkan password
atau key dengan mencoba
semua kombinasi yang mungkin.
5. Web Deface: System Exploitation
dengan tujuan mengganti
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 19 Volume 4 Nomor 2, Agustus 2006
tampilan halaman muka suatu
situs.
6. Email Spamming: Mengirimkan
junk email berupa iklan produk
dan sejenisnya pada alamat email
seseorang.
7. Denial of Service: Membanjiri
data dalam jumlah sangat besar
dengan maksud untuk
melumpuhkan sistem sasaran.
8. Virus, worm, trojan:
Menyebarkan virus, worm
maupun trojan dengan tujuan
untuk melumpuhkan sistem
komputer, memperoleh datadata
dari sistem korban dan
untuk mencemarkan nama baik
pembuat perangkat lunak
tertentu.
Contoh cybercrime dalam transaksi
perbankan yang menggunakan
sarana Internet sebagai basis
transaksi adalah sistem layanan
kartu kredit dan layanan perbankan
online (online banking). Dalam
sistem layanan yang pertama, yang
perlu diwaspadai adalah tindak
kejahatan yang dikenal dengan
istilah carding. Prosesnya adalah
sebagai berikut, pelaku carding
memperoleh data kartu kredit
korban secara tidak sah (illegal
interception) 3 , dan kemudian
3 Beberapa contoh dari illegal interception yaitu antara
lain: Penggunaan kartu asli yang tidak diterima oleh
pemegang kartu sesungguhnya (Non received card),
Kartu asli hasil curian/temuan (lost/stolen card), kartu
asli yang diubah datanya (altered card), kartu kredit
palsu (totally counterfeit), menggunakan kartu kredit
menggunakan kartu kredit tersebut
untuk berbelanja di toko online
(forgery). Modus ini dapat terjadi
akibat lemahnya sistem autentifikasi
yang digunakan dalam memastikan
identitas pemesan barang di toko
online.
Kegiatan yang kedua yaitu
perbankan online (online banking).
Modus yang pernah muncul di
Indonesia dikenal dengan istilah
typosite yang memanfaatkan
kelengahan nasabah yang salah
mengetikkan alamat bank online
yang ingin diaksesnya. Pelakunya
sudah menyiapkan situs palsu yang
mirip dengan situs asli bank online
(forgery). Jika ada nasabah yang
salah ketik dan masuk ke situs bank
palsu tersebut, maka pelaku akan
merekam user ID dan password
nasabah tersebut untuk digunakan
mengakses ke situs yang sebenarnya
(illegal access) dengan maksud
untuk merugikan nasabah. Misalnya
yang dituju adalah situs
www.klikbca.com, namun ternyata
nasabah ybs salah mengetik menjadi
www.klickbca.com.
polos yang menggunakan data asli (white plastic card),
penggandaan sales draft oleh oknum pedagang
kemudian diserahkan kepada oknum merchant lainnya
untuk diisi dengan transaksi fiktif (record of charge
pumping atau multiple imprint), dll.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 20 Volume 4 Nomor 2, Agustus 2006
C. Cyber Law 4 dan urgensi UU
ITE serta UU Transfer Dana
Perbincangan mengenai cyber law
(ada yang menyebut cyberspace law)
di Indonesia sudah dimulai sejak
pertengahan tahun 1990-an
menyusul semakin berkembang
pesatnya pemanfaatan Internet.
Dilihat dari ruang lingkupnya, cyber
law meliputi setiap aspek yang
berhubungan dengan subyek hukum
yang memanfaatkan teknologi
Internet yang dimulai pada saat
mulai "online" dan seterusnya
sampai saat memasuki dunia maya.
Oleh karena itu dalam pembahasan
cyber law, kita tidak dapat lepas
dari aspek yang menyangkut isu
prosedural, seperti jurisdiksi,
pembuktian, penyidikan,
kontrak/transaksi elektronik dan
tanda tangan digital/elektronik,
pornografi, pencurian melalui
Internet, perlindungan konsumen,
pemanfaatan Internet dalam
aktivitas keseharian manusia, seperti
e-commerce, e-government, e-tax,
e-learning, e-health, dan
sebagainya.5 Dengan demikian maka
4 Cyber Law: The field of law dealing with computers
and the Internet, including such issues as intellectualproperty
rights, freedom of expression, and free access
to information. Lihat: Black’s law dictionary, 7th
edition, 1999
5 Bandingkan Jonathan Rosenoer, dalam bukunya
Cyberlaw – The Law of Internet, menyebutkan bahwa
cyber law antara lain mencakup hak cipta, hak merek,
pencemaran nama baik, fitnah, penistaan, penghinaan,
serangan terhadap fasilitas komputer, pengaturan
sumberdaya Internet seperti IP-adress, domain name,
kenyamanan individu, prinsip kehati-hatian termasuk
ruang lingkup cyber law sangat luas,
tidak hanya semata-mata mencakup
aturan yang mengatur tentang
kegiatan bisnis yang melibatkan
konsumen (consumers), manufaktur
(manufactures), service providers
dan pedagang perantara
(intermediaries) dengan
menggunakan Internet (ecommerce).
Dalam konteks demikian
kiranya perlu dipikirkan tentang
rezim hukum baru terhadap
kegiatan di dunia maya.6
Dalam The Model Law on Electronic
Commerce yang dikeluarkan oleh
the United Nations Commissions on
International Trade Law (UNCITRAL
Model Law on Electronic Commerce)
diatur beberapa prinsip berkaitan
dengan transaksi elektronik, antara
lain 7:
dalam hal ini adalah negligence, tindakan kriminal
yang menggunakan TI sebagai alat.
6Bandingkan Julian Ding dalam bukunya E-commerce:
Law & Practice, mengemukakan bahwa e-commerce
sebagai suatu konsep yang tidak dapat didefinisikan.
Sebagaimana halnya dengan cyberlaw, banyak ahli
yang berbeda pendapat mengenai e-commerce. Ecommerce
memiliki arti yang berbeda bagi orang yang
berbeda.
7 Bandingkan dg Electronic Transaction Act (ETA),
Singapura, ditentukan beberapa prinsip yang berkaitan
dengan transaksi elektronik, antara lain:
a. Tidak ada perbedaan antara data elektronik
dengan dokumen kertas;
b. Suatu data elektronik dapat menggantikan suatu
dokumen tertulis;
c. Para pihak dapat melakukan kontrak secara
elektronik;
d. Suatu data elektronik merupakan alat bukti yang
sah di pengadilan;
e. Jika suatu data elektronik telah diterima oleh para
pihak, maka mereka harus bertindak
sebagaimana kesepakatan yang terdapat pada
data tersebut.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 21 Volume 4 Nomor 2, Agustus 2006
a. Information shall not be denied
its legal effect, validity or
enforceability solely on the
grounds that it is in the form of a
data message (Article 5).
b. Where the law requires
information to be in writing, that
requirement is met by a data
message if the information
contained therein is accessible so
as to be usable for subsequent
reference (Article 6).
Di dalam RUU ITE 8 disebutkan
bahwa transaksi elektronik adalah
hubungan hukum9 yang dilakukan
melalui komputer, jaringan
komputer atau media elektronik
lainnya. Lebih lanjut yang dimaksud
dengan komputer adalah alat
pemroses data elektronik, magnetik,
optikal, atau sistem yang
melaksanakan fungsi logika,
aritmatika, dan penyimpanan.
Berdasarkan pengertian tersebut,
maka transaksi elektronik memiliki
cakupan yang sangat luas, baik
mengenai subyeknya yaitu setiap
orang pribadi atau badan yang
memanfaatkan komputer, jaringan
komputer atau media elektronik
8 RUU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
saat ini telah diajukan oleh Pemerintah (dhi.Bank
Indonesia terlibat sbg narasumber, khususnya untuk
materi yang terkait dengan informasi dan transaksi
keuangan), dan sedang dilakukan pembahasan di DPR
RI.
9 Yang dimaksud dengan hubungan hukum adalah
hubungan yang menimbulkan akibat hukum yaitu hak
dan kewajiban (Mertokusumo, Sudikno, 1988,
Mengenal Hukum, Liberty, Jogjakarta, hlm. 97).
lainnya, maupun mengenai
obyeknya yang meliputi berbagai
barang dan jasa.
Dalam implementasinya, transaksi
elektronik dilakukan dengan
menggunakan interconnected
network (Internet), yaitu jaringan
komputer yang terdiri dari berbagai
macam ukuran jaringan yang saling
dihubungkan satu sama lain lewat
suatu medium komunikasi sehingga
para pengguna jaringan dapat
berkomunikasi secara elektronik dan
dapat saling mengakses semua
layanan (services) yang disediakan
oleh jaringan lainnya. 10 Dengan
demikian, berbeda dengan transaksi
komersial biasa, transaksi ecommerce
memiliki beberapa
karakteristik yang sangat khusus,
yaitu:11
a. Transaksi tanpa batas: Sebelum
era Internet, batas-batas geografi
menjadi penghalang suatu
perusahaan atau individu yang
ingin go-internasional, sehingga
hanya perusahaan atau individu
dengan modal besar yang dapat
memasarkan produknya ke luar
negeri.
10 Purwadi, Daniel H., 1995, Belajar Sendiri:
Mengenal Internet Jaringan Informasi Dunia, PT. Elex
Media Komputindo, Jakarta, hlm. 1, mengemukakan
bahwa yang dimaksud dengan jaringan komputer
adalah gabungan dari berbagai perlengkapan
komunikasi dan komputer yang dihubungkan satu
sama lain lewat suatu medium komunikasi, sedemikian
sehingga semua pemakai jaringan dapat
berkomunikasi secara elektronik
11 Sakti, Nufransa Wira, 2001, Perpajakan Dalam ECommerce,
Belajar Dari Jepang, dalam Berita Pajak
No. 1443/Tahun XXXIII/15 Mei 2001, hlm. 35.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 22 Volume 4 Nomor 2, Agustus 2006
b. Transaksi anonym: Para penjual
dan pembeli dalam transaksi
melalui Internet tidak harus
bertemu muka satu sama
lainnya.
c. Produk digital dan non digital:
Produk-produk digital seperti
software komputer, musik dan
produk lain yang bersifat digital
dapat dipasarkan melalui Internet
dengan cara men-download
secara elektronik.
d. Produk barang tak berwujud:
Banyak perusahaan yang
bergerak di bidang e-commerce
dengan menawarkan barang tak
berwujud separti data, software
dan ide-ide yang dijual melalui
Internet.
Kebutuhan UU tentang
Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE)
Dari paparan tersebut di atas, maka
kehadiran UU ITE, yang dapat
melindungi baik masyarakat selaku
konsumen jasa maupun pelaku
industri dalam mengembangkan
inovasi produk layanannya, sangat
diharapkan. Selain itu kehadiran UU
ITE ini diharapkan dapat lebih
mendorong pengembangan
penggunaan teknologi secara lebih
meluas, serta sekaligus dapat
memberikan keamanan serta
kepastian hukum dalam seluruh
kegiatan transaksi.
Dalam kaitannya dengan transaksi
keuangan perbankan, sebagai
Undang-Undang yang akan menjadi
semacam “Undang-Undang
payung” bagi kegiatan-kegiatan
bank yang terkait dengan media
elektronik termasuk mengenai
kegiatan transfer dana secara
elektronik, maka keberadaan UU ITE
dalam menunjang kelancaran sistem
pembayaran menjadi sangat penting
dan sangat besar kontribusinya.
Sebagai gambaran umum, jika
dilihat dari pergerakan dana melalui
e-banking, data Bank Indonesia
menunjukkan bahwa pada tahun
2005 volume transaksi pembayaran
yang diproses melalui sistem kliring
setiap harinya mencapai 317 ribu
transaksi dengan nilai nominal
mencapai Rp. 5.5 triliun. Sedangkan
yang dilakukan melalui sistem Real
Time Gross Settlement (Sistem BIRTGS)
pada tahun 2005 mencatat
volume transaksi sebesar 25 ribu
dengan nilai nominal mencapai Rp.
79.6 triliun per hari. Pada kuartal 1
tahun 2006 nilai transaksi
pembayaran elektronik melalui
Sistem BI-RTGS menunjukkan
peningkatan yang lebih signifikan,
yaitu mencapai rata-rata sebesar Rp.
103.6 triliun per hari. Dengan
demikian secara umum, nilai
transaksi transfer dana melalui
sistem kliring dan Sistem BI-RTGS di
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 23 Volume 4 Nomor 2, Agustus 2006
Bank Indonesia dari tahun ke tahun
menunjukkan kecenderungan
pertumbuhan yang sangat pesat.12
Dalam kaitannya dengan upaya
pencegahan tindak pidana, ataupun
penanganan tindak pidana, UU ITE
akan menjadi dasar hukum dalam
proses penegakan hukum terhadap
kejahatan-kejahatan dengan sarana
elektronik dan komputer, termasuk
kejahatan pencucian uang dan
kejahatan terorisme. Beberapa aspek
penting yang terkait dengan aspek
pidana yang menurut hemat kami
perlu diatur secara jelas antara lain:
Pertama, terkait tanggung jawab
penyelenggara sistem elektronik,
perlu dilakukan pembatasan atau
limitasi atas tanggungjawab
sehingga tanggungjawab
penyelenggara tidak melampaui
kewajaran.
Kedua, seluruh informasi elektronik
dan tanda tangan elektronik yang
dihasilkan oleh suatu sistem
informasi, termasuk print out-nya
harus dapat menjadi alat bukti di
pengadilan.
Ketiga, perlunya aspek perlindungan
hukum terhadap Bank Sentral, dan
lembaga perbankan/keuangan,
penerbit kartu kredit/kartu
pembayaran dan lembaga keuangan
lainnya dari kemungkinan adanya
gangguan dan ancaman kejahatan
12 Data Bank Indonesia
elektronik. Dalam UU ITE ini,
perlindungan tersebut dapat
dilakukan dengan mengkriminalisasi
setiap penggunaan dan akses yang
dilakukan secara illegal terhadap
komputer institusi/lembaga
tersebut, mengingat peranan yang
sangat vital dari lembaga-lembaga
keuangan dalam perekonomian dan
dalam rangka menjaga tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap
lembaga keuangan.
Keempat, perlunya ancaman pidana
yang bersifat deterren terhadap
tindak kejahatan elektronik
(Cybercrime), sehingga dapat
memberikan perlindungan terhadap
integritas sistem dan nilai investasi
yang telah dibangun dengan alokasi
sumber daya yang cukup besar.
Kebutuhan UU tentang Transfer
Dana
Dalam pengertian masyarakat
umum, transfer dana (funds
transfers) dapat diartikan sebagai
perpindahan dana antara pengirim
dan penerima yang dilakukan secara
elektronik maupun non elektronik
baik melalui bank maupun lembaga
bukan bank, seperti kantor pos dan
jasa titipan kilat.13 Kegiatan tersebut
telah dipraktikkan oleh masyarakat
dalam kurun waktu yang lama,
sebagai bagian dari sistem
13Dapat dilakukan dalam bentuk transfer kredit atau
transfer debit
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 24 Volume 4 Nomor 2, Agustus 2006
pembayaran yang mendukung
kegiatan perekonomian masyarakat,
bahkan telah bersifat lintas negara
(cross border) dan melibatkan
berbagai mata uang dalam jumlah
nominal dan volume yang besar
serta bersifat kompleks.
Tingginya frekuensi transfer dana
secara nasional dapat dilihat dari
volume dan nominal perpindahan
dana dalam rata-rata harian
perputaran kliring tahun 2005 yang
mencapai Rp. 5,61 triliun dengan
warkat harian rata-rata mencapai
325.287 lembar dan proses Bank
Indonesia Real Time Gross
Settlement (Sistem BI-RTGS) yang
mencapai rata-rata Rp79,36 triliun
dengan volume transaksi sebesar
25.409. 14 Berdasarkan data Bank
Indonesia, angka nominal dan
transaksi secara agregat dari proses
kliring dan Sistem BI-RTGS tersebut
dari tahun ke tahun selalu
meningkat. Apalagi angka tersebut
belum mencakup data perputaran
dana antar nasabah yang terjadi di
dalam bank sendiri (intra bank) dan
transfer dana di lembaga selain bank
yang diperkirakan mencapai volume
dan nilai transaksi yang cukup besar,
karena melibatkan jutaan pemilik
rekening yang dapat melakukan
ribuan transaksi pemindahbukuan
(intra bank) per hari. Informasi ini
belum dapat didata oleh Bank
14 Data Bank Indonesia
Indonesia, antara lain disebabkan
karena belum adanya pengaturan
Undang-Undang tentang kewajiban
pelaporan mengenai hal tersebut
kepada Bank Indonesia. Khusus
untuk lembaga selain bank, belum
adanya Undang-Undang Transfer
Dana menyebabkan tidak adanya
kewajiban bagi lembaga selain bank
untuk melaporkan kegiatannya dan
untuk meminta izin dari Bank
Indonesia sebelum melakukan
kegiatannya.
Kebutuhan untuk segera memiliki
Undang-Undang Transfer Dana perlu
mendapat perhatian karena tidak
adanya Undang-Undang ini
mengakibatkan kegiatan transfer
dana tidak dapat diawasi
sepenuhnya, dan penelusuran atas
terjadinya tindak pidana di bidang
transfer dana sulit untuk dilakukan.
Selain itu, tidak adanya Undang-
Undang Transfer Dana
menyebabkan tidak adanya
kepastian hukum bagi para pihak
apabila terdapat perselisihan. Saat
ini sejumlah negara telah memiliki
Undang-Undang Transfer Dana yang
mengatur pelaksanaan transfer
dana, bahkan substansinya meliputi
pula pengaturan transfer dana yang
bersifat cross border dan pengaturan
secara khusus tentang transfer dana
secara elektronik. Dalam kaitan itu
United Nations Commission on
International Trade Law (UNCITRAL),
telah mengeluarkan Legal Guide
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 25 Volume 4 Nomor 2, Agustus 2006
tentang Electronic Funds Transfer
dan Model Law tentang
International Credit Transfer.
Meskipun tidak bersifat mandatory,
model law tersebut telah banyak
dijadikan referensi oleh negaranegara
dalam penyusunan Undang-
Undang Transfer Dana.
Dengan melihat perkembangan
kejahatan terorisme dan pencucian
uang yang cenderung
memanfaatkan proses transfer dana
sebagai sarana dalam melaksanakan
kejahatannya, maka kegiatan
transfer dana perlu diatur dalam
tingkatan Undang-Undang. Undang-
Undang Transfer Dana ini akan
mengatur seluruh aspek kegiatan
transfer dana secara komprehensif
yang meliputi tata cara, pelaksanaan
transfer dana, hak dan kewajiban
para pihak, pembuktian dan alat
bukti, perizinan penyelenggara
transfer dana, pengawasan transfer
dana, serta perumusan delik dan
sanksi pidananya. Selanjutnya,
Undang-Undang ini akan menjadi
landasan hukum yang sangat
penting untuk melengkapi Undang-
Undang Terorisme dan Undang-
Undang Tindak Pidana Pencucian
Uang dalam upaya negara
memerangi kejahatan ini, khususnya
dalam rangka perizinan,
pengawasan dan pengenaan sanksi
terhadap kegiatan-kegiatan
remittance (pengiriman uang) sesuai
dengan Special Recommendation VI
dari Financial Action Task Force on
Money Laundering (FATF), yang
menyatakan bahwa setiap
penyelenggara transfer dana wajib
memperoleh izin dari instansi yang
berwenang dan dikenakan sanksi
administratif, perdata dan pidana,
bagi penyelenggara transfer dana
yang tidak memiliki izin, serta wajib
tunduk pada rekomendasi FATF. Hal
ini sejalan pula dengan upaya
Pemerintah Indonesia untuk
meratifikasi International Convention
for the Supression of Terrorism
Bombing, 1997 dan International
Convention for the Supression of the
Financing of Terrorism, 1999 dalam
rangka mencegah dan
menanggulangi tindak pidana
terorisme.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas
maka dalam Undang-Undang
Transfer Dana perlu diatur pokokpokok
materi antara lain :
1. Kewajiban untuk memperoleh
izin bagi penyelenggara
transfer dana.
Sesuai dengan kewenangan
Bank Indonesia untuk mengatur
dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran sebagaimana
dimaksud dalam Undang-
Undang Bank Indonesia, dan
mengingat sampai saat ini
terhadap penyelenggara transfer
dana oleh lembaga selain bank
tidak terdapat pengaturan yang
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 26 Volume 4 Nomor 2, Agustus 2006
mewajibkan untuk memperoleh
izin terlebih dahulu sehingga
Bank Indonesia tidak dapat
melakukan pengawasan atas
penyelenggara transfer dana dan
aliran dana, maka dalam
Undang-Undang Transfer Dana
perlu diatur mengenai kewajiban
penyelenggara transfer dana
untuk memperoleh izin terlebih
dahulu dari Bank Indonesia
sebelum melakukan kegiatannya.
Hal ini sejalan pula dengan FATF
Special Recommendation VI dan
akan mendukung implementasi
Undang-Undang Terorisme dan
Undang-Undang Tindak Pidana
Pencucian Uang.
2. Kewajiban pelaporan bagi
penyelenggara transfer dana.
Dengan adanya kewajiban
pelaporan yang dilakukan oleh
penyelenggara transfer dana
kepada Bank Indonesia, maka
Bank Indonesia dapat melakukan
pengawasan terhadap kegiatan
penyelenggaraan transfer dana,
sehingga dalam hal terjadi tindak
pidana, penyimpangan, dan
indikasi adanya pencucian uang
dan pendanaan terorisme, akan
memudahkan dalam penelusuran
aliran dana yang ditransfer.
Selain itu, data statistik yang
dikelola Bank Indonesia akan
lebih akurat.
3. Pengawasan terhadap
penyelenggara transfer dana.
Pengawasan dapat dilakukan
secara aktif melalui pemeriksaan
atau pengawasan pasif dengan
cara memeriksa laporan dari
penyelenggara transfer dana.
Tujuan pengawasan adalah
untuk memastikan
penyelenggara transfer dana
dalam memenuhi peraturan
perundang-undangan yang
berlaku, termasuk pengelolaan
manajemen risiko, dalam
mendukung sistem pembayaran
yang aman, handal, lancar dan
efisien.
4. Pembuktian dan alat bukti.
Sarana yang digunakan dalam
proses transfer dana tidak hanya
bersifat paper-based, tetapi juga
menggunakan sarana lainnya
antara lain sarana yang bersifat
elektronik. Dalam kaitan ini,
Undang-Undang ini akan
menjadi dasar hukum bagi
penggunaan sarana elektronik,
dalam hal ini berupa informasi
elektronik dan/atau hasil
cetaknya, sebagai alat bukti dan
memiliki akibat hukum yang sah
di pengadilan. Demikian juga
tanda tangan elektronik dan/atau
hasil cetaknya dalam
pelaksanaan transfer dana diakui
sebagai tanda tangan yang sah
sepanjang memenuhi
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 27 Volume 4 Nomor 2, Agustus 2006
persyaratan yang ditetapkan
dalam peraturan perundangan.
Selain itu, dalam Undang-
Undang Transfer Dana juga
diatur mengenai kewajiban bagi
penyelenggara transfer dana
untuk melakukan pembuktian
apabila terjadi sengketa dengan
nasabahnya terkait
keterlambatan dan kesalahan
transfer. Hal tersebut mengingat
penyelenggara transfer dana
dianggap sebagai pihak yang
memiliki kemampuan untuk
melakukan pembuktian.
5. Ketentuan Pidana.
Aspek pidana yang perlu diatur
dalam Undang-Undang ini
meliputi perumusan delik dan
sanksi pidana untuk tindak
pidana di bidang transfer dana
antara lain melakukan kegiatan
transfer dana tanpa izin dan
mengubah, menghilangkan,
menghapus sebagian atau
seluruh informasi yang
tercantum dalam perintah
transfer dana yang merugikan
pengirim dan/atau penerima
yang berhak atau pihak lainnya
atau memperkaya diri sendiri
dan/atau pihak lain. Mengingat
tindak pidana di bidang transfer
dana dapat mengganggu sistem
pembayaran nasional dan
kepercayaan masyarakat
terhadap sistem pembayaran
yang mengakibatkan kerugian
pada perekonomian nasional,
maka pengaturan tindak pidana
di bidang transfer dana perlu
digolongkan sebagai tindak
pidana khusus yang diatur dalam
Undang-Undang Transfer Dana.
D. Penutup
Kemajuan di bidang teknologi
informasi dan komputer yang
didukung dengan semakin
lengkapnya infrastruktur informasi
secara global, telah mengubah pola
dan cara kegiatan masyarakat dalam
berbagai aspek. Bagi
perekonomian, kemajuan di bidang
teknologi tersebut telah
menciptakan efisiensi yang luar
biasa.
Bagi perbankan, hal tersebut telah
mengubah strategi dan pola
kegiatannya. Tidak dapat
dibayangkan apabila perbankan
yang mengelola jutaan nasabahnya
harus melakukan kegiatannya
tersebut secara manual dan tanpa
bantuan komputer.
Dalam konteks yang lebih luas,
terwujudnya bayangan masyarakat
tanpa uang tunai (less cash society),
mulai menjadi kenyataan.
Masyarakat tidak lagi harus
menggunakan uang tunai, namun
cukup dengan sebuah “kartu
pintar” atau “online transaction”
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 28 Volume 4 Nomor 2, Agustus 2006
dengan menggunakan sarana
seperti e-commerce atau e-banking.
Guna mendukung terwujudnya less
cash society tersebut, maka
kehadiran cyber law adalah hal
mutlak. Kehadiran UU ITE dan UU
Transfer Dana diharapkan dapat
menjadi faktor penting dalam upaya
mencegah dan memberantas
cybercrime tersebut serta dapat
memberikan deterren effect kepada
para pelaku cybercrime sehingga
akan berpikir jauh untuk melakukan
aksinya. Selain itu hal yang penting
lainnya adalah adanya pemahaman
yang sama dalam memandang
cybercrime dari aparat penegak
hukum, termasuk dalam law
enforcement-nya.

Telekomunikasi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 1999
TENTANG
TELEKOMUNIKASI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
a. bahwa tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan
masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa penyelenggaraan telekomunikasi mempunyai arti strategis
dalam upaya memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa,
memperlancar kegiatan pemerintahan, mendukung terciptanya
tujuan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta
meningkatkan hubungan antar bangsa;
c. bahwa pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi
telekomunikasi yang sangat pesat telah mengakibatkan perubahan
yang mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap
telekomunikasi;
d. bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan perubahan mendasar
dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi
tersebut, perlu dilakukan penataan dan pengaturan kembali
penyelenggaraan telekomunikasi nasional;
e. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka Undangundang
Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi dipandang
tidak sesuai lagi, sehingga perlu diganti;
Mengingat Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang-
Undang Dasar 1945;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG TELEKOMUNIKASI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau
penerimaan dan setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda,
isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat,
optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya;
2. Alat telekomunikasi adalah setiap alat perlengkapan yang
digunakan dalam bertelekomunikasi;
3. Perangkat telekomunikasi adalah sekelompok alat telekomunikasi
yang memungkinkan bertelekomunikasi;
4. Sarana dan prasarana telekomunikasi adalah segala sesuatu yang
memungkinkan dan mendukung berfungsinya telekomunikasi;
5. Pemancar radio adalah alat telekomunikasi yang menggunakan dan
memancarkan gelombang radio;
6. Jaringan telekomunikasi adalah rangkaian perangkat
telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam
bertelekomunikasi;
7. Jasa telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk
memenuhi kebutuhan bertelekomunikasi dengan menggunakan
jaringan telekomunikasi;
8. Penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi,
badan usaha milik daerah, badan usaha milik negara, badan usaha
swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan
negara;
9. Pelanggan adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah
yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi berdasarkan kontrak;
10. Pemakai adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah
yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi yang tidak berdasarkan kontrak;
11. Pengguna adalah pelanggan dan pemakai;
12. Penyelenggaraan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan
pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya
telekomunikasi;
13. Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi adalah kegiatan
penyediaan dan atau pelayanan jaringan telekomunikasi yang
memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
14. Penyelenggaraan jasa telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan
dan atau pelayanan jasa telekomunikasi yang memungkinkan
terselenggaranya telekomunikasi;
15. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus adalah penyelenggaraan
telekomunikasi yang sifat, peruntukan, dan pengoperasiannya
khusus;
16. Interkoneksi adalah keterhubungan antarjaringan telekomunikasi
dan penyelenggara jaringan telekomunikasi yang berbeda;
17. Menteri adalah Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang telekomunikasi.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan
merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan
pada diri sendiri.
Pasal 3
Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung
persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi
dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antarbangsa.
BAB Ill
PEMBINAAN
Pasal 4
1. Telekomunikasi dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan
oleh Pemerintah.
2. Pembinaan telekomunikasi diarahkan untuk meningkatkan
penyelenggaraan telekomunikasi yang meliputi penetapan
kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan pengendalian.
3. Dalam penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan
pengendalian di bidang telekomunikasi, sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), dilakukan secara menyeluruh dan terpadu dengan
memperhatikan pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam
masyarakat serta perkembangan global.
Pasal 5
1. Dalam rangka pelaksanaan pembinaan telekomunikasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4, Pemerintah melibatkan peran serta
masyarakat.
2. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa penyampaian pemikiran dan pandangan yang berkembang
dalam masyarakat mengenai arah pengembangan pertelekomunikasian
dalam rangka penetapan kebijakan, pengaturan, pengendalian, dan
pengawasan di bidang telekomunikasi.
3. Pelaksanaan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diselenggarakan oleh lembaga mandiri yang dibentuk
untuk maksud tersebut.
4. Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) keanggotaannya
terdiri dan asosiasi yang bergerak di bidang usaha
telekomunikasi, asosiasi profesi telekomunikasi, asosiasi
produsen peralatan telekomunikasi, asosiasi pengguna jaringan
dan jasa telekomunikasi, dan masyarakat intelektual di bidang
telekomunikasi.
5. Ketentuan mengenai tata cara peran serta masyarakat dan
pembentukan lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 6
Menteri bertindak sebagai penanggung jawab administrasi
telekomunikasi Indonesia.
BAB IV
PENYELENGGARAAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 7
1. Penyelenggaraan telekomunikasi meliputi :
a. penyelenggaraan jaringan telekomunikasi;
b. penyelenggaraan jasa telekomunikasi;
c. penyelenggaraan telekomunikasi khusus.
2. Dalam penyelenggaraan telekomunikasi, diperhatikan hal-hal
sebagai berikut :
. melindungi kepentingan dan keamanan negara;
a. mengantisipasi perkembangan teknologi dan tuntutan
global;
b. dilakukan secara profesional dan dapat
dipertanggungjawabkan;
c. peran-serta masyarakat.
Bagian Kedua
Penyelenggara
Pasal 8
1. Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau
penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b dapat dilakukan oleh badan
hukum yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu:
a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
b. Badan Usaha MiIik Daerah (BUMD);
c. badan usaha swasta; atau
d. koperasi.
2. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c dapat dilakukan oleh :
. perseorangan;
a. instansi pemerintah;
b. badan hukum selain penyelenggara jaringan telekomunikasi
dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi.
3. Ketentuan mengenai penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 9
1. Penyelenggara jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1) dapat menyelenggarakan jasa
telekomunikasi.
2. Penyelengara jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi,
menggunakan dan atau menyewa jaringan telekomunikasi milik
penyelenggara jaringan telekomunikasi.
3. Penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (2) dapat menyelenggarakan telekomunikasi untuk:
a. keperluan sendiri;
b. keperluan pertahanan keamanan negara;
c. keperluan penyiaran.
4. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf a terdini dan penyelenggaraan telekomunikasi
untuk keperluan:
. perseorangan;
a. instansi pemerintah;
b. dinas khusus;
c. badan hukum.
5. Ketentuan mengenai persyaratan penyelenggaraan telekomunikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Larangan Praktek Monopoli
Pasal 10
1. Dalam penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan
kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat di antara penyelenggara
telekomunikasi.
2. Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Keempat
Perizinan
Pasal 11
1. Penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 dapat diselenggarakan setelah mendapat izin dan Menteri.
2. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan
memperhatikan:
a. tata cara yang sederhana;
b. proses yang transparan, adil dan tidak diskriminatif;
serta
c. penyelesaian dalam waktu yang singkat.
3. Ketentuan mengenai perizinan penyelenggaraan telekomunikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Hak dan Kewajiban Penyelenggara dan Masyarakat
Pasal 12
1. Dalam rangka pembangunan, pengoperasian, dan atau pemeliharaan
jaringan telekomunikasi, penyelenggara telekomunikasi dapat
memanfaatkan atau melintasi tanah negara dan atau bangunan yang
dimiliki atau dikuasai Pemerintah.
2. Pemanfaatan atau pelintasan tanah negara dan atau bangunan
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berlaku pula terhadap sungai,
danau, atau laut, baik permukaan maupun dasar.
3. Pembangunan, pengoperasian dan atau pemeliharaan jaringan
telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan
setelah mendapatkan persetujuan dari instansi pemerintah yang
bertanggung jawab dengan memperhatikan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Pasal 13
Penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah
dan atau bangunan milik perseorangan untuk tujuan pembangunan,
pengoperasian, atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi setelah
terdapat persetujuan di antara para pihak.
Pasal 14
Setiap pengguna telekomunikasi mempunyai hak yang sama untuk
menggunakan jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi dengan
memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 15
1. Atas kesalahan dan atau kelalaian penyelenggara telekomunikasi
yang menimbulkan kerugian, maka pihak-pihak yang dirugikan
berhak mengajukan tuntutan ganti rugi kepada penyelenggara
telekomunikasi.
2. Penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan ganti rugi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali penyelenggara
telekomunikasi dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan
diakibatkan oleh kesalahan dan atau kelalaiannya.
3. Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian ganti
rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 16
1. Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau
penyelenggara jasa telekomunikasi wajib memberikan kontribusi
dalam pelayanan universal.
2. Kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berbentuk penyediaan sarana dan prasarana telekomunikasi
dan atau kompensasi lain.
3. Ketentuan kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
Penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa
telekomunikasi wajib menyediakan pelayanan telekomunikasi berdasarkan
prinsip
a. perlakuan yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi
semua pengguna;
b. peningkatan efisiensi dalam penyelenggaraan telekomunikasi;
dan
c. pemenuhan standar pelayanan serta standar penyediaan sarana dan
prasarana.
Pasal 18
1. Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib mencatat / merekam
secara rinci pemakaian jasa telekomunikasi yang digunakan oleh
pengguna telekomunikasi.
2. Apabila pengguna memerlukan catatan/rekaman pemakaian jasa
telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penyelenggara telekomunikasi wajib memberikannya.
3. Ketentuan mengenai pencatatan/perekaman pemakaian jasa
telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
Penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menjamin kebebasan
penggunanya memilih jaringan telekomunikasi lain untuk pemenuhan
kebutuhan telekomunikasi.
Pasal 20
Setiap penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan prioritas untuk
pengiriman, penyaluran, dan penyampaian informasi penting yang
menyangkut :
a. keamanan negara;
b. keselamatan jiwa manusia dan harta benda;
c. bencana alam;
d. marabahaya; dan atau
e. wabah penyakit.
Pasal 21
Penyelenggara telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan usaha
penyelenggaraan telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan
umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum.
Pasal 22
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau
memanipulasi
a. akses ke jaringan telekomunikasi; dan atau
b. akses ke jasa telekomunikasi; dan atau
c. akses ke jaringan telekomunikasi khusus.
Bagian Keenam
Penomoran
Pasal 23
1. Dalam penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan jasa
telekomunikasi ditetapkan dan digunakan sistem penomoran.
2. Sistem penomoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh Menteri.
Pasal 24
Permintaan penomoran oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan
atau penyelenggara jasa telekomunikasi diberikan berdasarkan sistem
penomoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.
Bagian Ketujuh
lnterkoneksi dan Biaya Hak Penyelenggaraan
Pasal 25
1. Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi berhak untuk
mendapatkan interkoneksi dan penyelenggara jaringan
telekomunikasi lainnya.
2. Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyediakan
interkoneksi apabila diminta oleh penyelenggara jaringan
telekomunikasi lainnya.
3. Pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dilakukan berdasarkan prinsip :
a. pemanfaatan sumber daya secara efisien;
b. keserasian sistem dan perangkat telekomunikasi;
c. peningkatan mutu pelayanan; dan
d. persaingan sehat yang tidak saling merugikan.
4. Ketentuan mengenai interkoneksi jaringan telekomunikasi, hak
dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
1. Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau
penyelenggara jasa telekomunikasi wajib membayar biaya hak
penyelenggaraan telekomunikasi yang diambil dari persentase
pendapatan.
2. Ketentuan mengenai biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kedelapan
Tarif
Pasal 27
Susunan tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau tarif
penyelenggaraan jasa telekomunikasi di atur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 28
Besaran tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi ditetapkan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi
dan atau jasa telekomunikasi dengan berdasarkan formula yang
ditetapkan oleh Pemerintah.
Bagian Kesembilan
Telekomunikasi Khusus
Pasal 29
1. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a dan huruf b, dilarang
disambungkan ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya.
2. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (3) huruf c, dapat disambungkan ke jaringan
penyelenggara telekomunikasi lainnya sepanjang digunakan untuk
keperluan penyiaran.
Pasal 30
1. Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau
penyelenggara jasa telekomunikasi belum dapat menyediakan akses
di daerah tertentu, maka penyelenggara telekomunikasi khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a, dapat
menyelenggarakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
huruf a dan huruf b setelah mendapat izin Menteri.
2. Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau
penyelenggara jasa telekomunikasi sudah dapat menyediakan akses
di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka
penyelenggara telekomunikasi khusus dimaksud tetap dapat
melakukan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi.
3. Syarat-syarat untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 31
1. Dalam keadaan penyelenggara telekomunikasi khusus unluk
keperluan pertahanan keamanan negara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (3) huruf b belum atau tidak mampu mendukung
kegiatannya, penyelenggara telekomunikasi khusus dimaksud dapat
menggunakan atau memanfaatkan jaringan telekomunikasi yang
dimiliki dan atau digunakan oleh penyelenggara telekomunikasi
lainnya.
2. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kesepuluh
Perangkat Telekomunikasi,
Spektrum Frekuensi Radio, dan Orbit Satelit
Pasal 32
1. Perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan, dibuat, dirakit,
dimasukkan dan atau digunakan di wilayah Negara Republik
Indonesia wajib memperhatikan persyaratan teknis dan
berdasarkan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
2. Ketentuan mengenai persyaratan teknis perangkat telekomunikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 33
1. Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit wajib
mendapatkan izin Pemerintah.
2. Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit harus
sesuai dengan peruntukannya dan tidak saling mengganggu.
3. Pemerintah melakukan pengawasan dan pengendalian penggunaan
spektrum frekuensi radio dan orbit satelit.
4. Ketentuan penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit
yang digunakan dalam penyelenggaraan telekomunikasi diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 34
1. Pengguna spektrum frekuensi radio wajib membayar biaya
penggunaan frekuensi, yang besarannya didasarkan atas
penggunaan jenis dan lebar pita frekuensi.
2. Pengguna orbit satelit wajib membayar biaya hak penggunaan
orbit satelit.
3. Ketentuan mengenai biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 35
1. Perangkat telekomunikasi yang digunakan oleh kapal berbendera
asing dan dan ke wilayah perairan Indonesia dan atau yang
dioperasikan di wilayah perairan Indonesia tidak diwajibkan
memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32.
2. Spektrum frekuensi radio dilarang digunakan oleh kapal
berbendera asing yang berada di wilayah perairan Indonesia di
luar peruntukannya, kecuali :
a. untuk kepentingan keamanan negara, keselamatan jiwa
manusia dan harta benda, bencana alam, keadaan marabahaya,
wabah, navigasi, dan keamanan lalu lintas pelayaran;
atau
b. disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang dioperasikan
oleh penyelenggara telekomunikasi; atau
c. merupakan bagian dan sistem komunikasi satelit yang
penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam
penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak pelayaran.
3. ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 36
1. Perangkat telekomunikasi yang digunakan oleh pesawat udara
sipil asing dan dan ke wilayah udara Indonesia tidak diwajibkan
memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32.
2. Spektrum frekuensi radio dilarang digunakan oleh pesawat udara
sipil asing dan dan ke wilayah udara Indonesia di luar
peruntukannya, kecuali :
a. untuk kepentingan keamanan negara, keselamatan jiwa
manusia dan harta benda, bencana alam, keadaan marabahaya,
wabah, navigasi, dan keselamatan lalu lintas penerbangan;
atau
b. disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang dioperasikan
oleh penyelenggara telekomunikasi; atau
c. merupakan bagian dan sistem komunikasi satelit yang
penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam
penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak
penerbangan.
3. Ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 37
Pemberian izin penggunaan perangkat telekomunikasi yang menggunakan
spektrum frekuensi radio untuk perwakilan diplomatik di Indonesia
dilakukan dengan memperhatikan asas timbal balik.
Bagian Kesebelas
Pengamanan Telekomunikasi
Pasal 38
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan
gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap penyelenggaraan
telekomunikasi.
Pasal 39
1. Penyelenggara telekomunikasi wajib melakukan pengamanan dan
perlindungan terhadap instalasi dalam jaringan telekomunikasi
yang digunakan untuk penyelenggaraan telekomunikasi.
2. Ketentuan pengamanan dan perlindungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 40
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi
yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun.
Pasal 41
Dalam rangka pembuktian kebenaran pemakaian fasilitas telekomunikasi
atas permintaan pengguna jasa telekomunikasi, penyelenggara jasa
telekomunikasi wajib melakukan perekaman pemakaian fasilitas
telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna jasa telekomunikasi dan
dapat melakukan perekaman informasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 42
1. Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakan informasi
yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa
telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi yang diselenggarakannya.
2. Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa
telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau
diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat
memberikan informasi yang diperlukan atas:
a. permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala
Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana
tertentu;
b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai
dengan Undang-undang yang berlaku.
3. Ketentuan mengenai tata cara permintaan dan pemberian rekaman
informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 43
Pemberian rekaman informasi oleh penyelenggara jasa telekomunikasi
kepada pengguna jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
41 dan untuk kepentingan proses peradilan pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 ayat (2), tidak merupakan pelanggaran Pasal 40.
BAB V
PENYIDIKAN
Pasal 44
1. Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana
untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang
telekomunikasi.
2. Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau
keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang
telekomunikasi;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang dan atau badan hukum
yang diduga melakukan tindak pidana di bidang
telekomunikasi;
c. menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat
telekomunikasi yang menyimpang dan ketentuan yang
berlaku;
d. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
saksi atau tersangka;
e. melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat
telekomunikasi yang diduga digunakan atau diduga
berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
f. menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan
tindak pidana di bidang telekomunikasi;
g. menyegel dan atau menyita alat dan atau perangkat
telekomunikasi yang digunakan atau yang diduga berkaitan
dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
h. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi; dan
i. mengadakan penghentian penyidikan.
3. Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Hukum Acara
Pidana.
BAB VI
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 45
Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1), Pasal 18 ayat (2),
Pasal 19, Pasal 21, Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29
ayat (1), Pasal 29 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal 33 ayat (2),
Pasal 34 ayat (1), atau Pasal 34 ayat (2) dikenai sanksi
administrasi.
Pasal 46
1. Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 berupa
pencabutan izin.
2. Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
setelah diberi peringatan tertulis.
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 47
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah).
Pasal 48
Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 49
Penyelenggara telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah).
Pasal 50
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah).
Pasal 51
Penyelenggara telekomunikasi khusus yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) atau Pasal 29 ayat (2),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau
denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Pasal 52
Barang siapa memperdagangkan, membuat, merakit, memasukkan atau
menggunakan perangkat telekomunikasi di wilayah Negara Republik
Indonesia yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 53
1. Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 ayat (1) atau Pasal 33 ayat (2), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda
paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
2. Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan matinya seseorang, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 54
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 ayat (2) atau Pasal 36 ayat (2), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus jula rupiah).
Pasal 55
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah).
Pasal 56
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun.
Pasal 57
Penyelenggara jasa telekomunikasi yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 58
Alat dan perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 52 atau Pasal 56
dirampas untuk negara dan atau dimusnahkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 59
Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49,
Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56,
dan Pasal 57 adalah kejahatan.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 60
Pada saat berlakunya Undang-undang ini, penyelenggara telekomunikasi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang
Telekomunikasi, tetap dapat menjalankan kegiatannya dengan ketentuan
dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-undang ini
dinyatakan berlaku wajib menyesuaikan dengan Undang-undang ini.
Pasal 61
1. Dengan berlakunya Undang-undang ini, hak-hak tertentu yang
telah diberikan oleh Pemerintah kepada Badan Penyelenggara
untuk jangka waktu tertentu berdasarkan Undang-undang Nomor 3
Tahun 1989 masih berlaku.
2. Jangka waktu hak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dipersingkat sesuai dengan kesepakatan antara Pemerintah
dan Badan Penyelenggara.
Pasal 62
Pada saat Undang-undang ini berlaku semua peraturan pelaksanaan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi (Lembaran
Negara Tahun 1989 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3391)
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan atau belum
diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-undang ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 63
Dengan berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989
tentang Telekomunikasi dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 64
Undang-undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun sejak tanggal
diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 8 September 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
t.t.d
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 8 September 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
t.t.d.
MULADI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 154
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan I,
Lambock V. Nahattands
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 1999
TENTANG
TELEKOMUNIKASI
U M U M
Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang
Telekomunikasi, pembangunan dan penyelenggaraan telekomunikasi telah
menunjukkan peningkatan peran penting dan strategis dalam menunjang
dan mendorong kegiatan perekonomian, memantapkan pertahanan dan
keamanan, mencerdaskan kehidupan bangsa, memperlancar kegiatan
pemerintahan, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa dalam
kerangka wawasan nusantara, dan memantapkan ketahanan nasional serta
meningkatkan hubungan antar bangsa.
Perubahan lingkungan global dan perkembangan teknologi telekomunikasi
yang berlangsung sangat oepat telah mendorong terjadinya perubahan
mendasar, melahirkan lingkungan telekomunikasi yang baru, dan
perubahan cara pandang dalam penyelenggaraan telekomunikasi, termasuk
hasil konvergensi dengan teknologi informasi dan penyiaran, sehingga
dipandang perlu mengadakan penataan kembali penyelenggaraan
telekomunikasi nasional.
Penyesuaian dalam penyelenggaraan telekomunikasi di tingkat nasional
sudah merupakan kebutuhan nyata, mengingat meningkatnya kemampuan
sektor swasta dalam penyelenggaraan telekomunikasi, penguasaan
teknologi telekomunikasi, dan keunggulan kompetitif dalam rangka
memenuhi kebutuhan masyarakat.
Perkembangan teknologi telekomunikasi di tingkat internasional yang
diikuti dengan peningkatan penggunaannya sebagai salah satu komoditas
perdagangan, yang memiliki nilai komersial tinggi, telah mendorong
terjadinya berbagai kesepakatan multilateral.
Sebagai negara yang aktif dalam membina hubungan antarnegara atas
dasar kepentingan nasional, keikutsertaan Indonesia dalam berbagai
kesepakatan multilateral menimbulkan berbagai konsekuensi yang harus
dihadapi dan diikuti. Sejak penandatanganan General Agreement on
Trade and Services (GATS) di Marrakesh, Maroko, pada tanggal 15 April
1994, yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994,
penyelenggaraan telekomunikasi nasional menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari sistem perdagangan global.
Sesuai dengan prinsip perdagangan global, yang menitikberatkan pada
asas perdagangan bebas dan tidak diskriminatif, Indonesia harus
menyiapkan diri untuk menyesuaikan penyelenggaraan telekomunikasi.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, maka peran Pemerintah
dititikberatkan pada pembinaan yang meliputi penentuan kebijakan,
pengaturan, pengawasan dan pengendalian dengan mengikutsertakan peran
masyarakat.
Peningkatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan telekomunikasi
tidak mengurangi prinsip dasar yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945, yaitu bahwa bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, hal-hal yang
menyangkut pemanfaatan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit
yang merupakan sumber daya alam yang terbatas dikuasai oleh negara.
Dengan tetap berpijak pada arah dan kebijakan pembangunan nasional
serta dengan memperhatikan perkembangan yang berlangsung baik secara
nasional maupun internasional, terutama di bidang teknologi
telekomunikasi, norma hukum bagi pembinaan dan penyelenggaraan
telekomunikasi yang diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989
tentang Telekomunikasi perlu diganti.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 Cukup jelas.
Pasal 2
Penyelenggaraan telekomunikasi memperhatikan dengan sungguhsungguh
asas pembangunan nasional dengan mengutamakan asas
manfaat, asas adil dan merata, asas kepastian hukum dan asas
kepercayaan pada diri sendiri, serta memperhatikan pula asas
keamanan, kemitraan, dan etika.
Asas manfaat berarti bahwa pembangunan telekomunikasi khususnya
penyelenggaraan telekomunikasi akan lebih berdaya guna dan
berhasil guna baik sebagai infrastruktur pembangunan, sarana
penyelenggaraan pemerintahan, sarana pendidikan, sarana
perhubungan, maupun sebagai komoditas ekonomi yang dapat lebih
meningkatkan kesejahteraan masyarakat Iahir batin.
Asas adil dan merata adalah bahwa penyelenggaraan
telekomunikasi memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama
kepada semua pihak yang memenuhi syarat dan hasil-hasilnya
dinikmati oleh masyarakat secara adil dan merata.
Asas kepastian hukum berarti bahwa pembangunan telekomunikasi
khususnya penyelenggaraan telekomunikasi harus didasarkan
kepada peraturan perundang-undangan yang menjamin kepastian
hukum, dan memberikan perlindungan hukum baik bagi para
investor, penyelenggara telekomunikasi, maupun kepada pengguna
telekomunikasi.
Asas kepercayaan pada diri sendiri, dilaksanakan dengan
memanfaatkan secara maksimal potensi sumber daya nasional
secara efisien serta penguasaan teknologi telekomunikasi,
sehingga dapat meningkatkan kemandirian dan mengurangi
ketergantungan sebagai suatu bangsa dalam menghadapi persaingan
global.
Asas kemitraan mengandung makna bahwa penyelenggaraan
telekomunikasi harus dapat mengembangkan iklim yang harmonis,
timbal balik, dan sinergi dalam penyelenggaraan
telekomunikasi.
Asas keamanan dimaksudkan agar penyelenggaraan telekomunikasi
selalu memperhatikan faktor keamanan dalam perencanaan,
pembangunan, dan pengoperasiannya.
Asas etika dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan
telekomunikasi senantiasa dilandasi oleh semangat
profesionalisme, kejujuran, kesusilaan, dan keterbukaan.
Pasal 3
Tujuan penyelenggaraan telekomunikasi dalam ketentuan ini dapat
dicapai, antara lain, melalui reformasi telekomunikasi untuk
meningkatkan kinerja penyelenggaraan telekomunikasi dalam
rangka menghadapi globalisasi, mempersiapkan sektor
telekomunikasi memasuki persaingan usaha yang sehat dan
profesional dengan regulasi yang transparan, serta membuka
lebih banyak kesempatan berusaha bagi pengusaha kecil dan
menengah.
Pasal 4
Ayat (1)
Mengingat telekomunikasi merupakan salah satu cabang
produksi yang penting dan strategis dalam kehidupan
nasional, maka penguasaannya dilakukan oleh negara, yang
dalam penyelenggaraannya ditujukan untuk sebesar-besarnya
bagi kepentingan dan kemakmuran rakyat.
Ayat (2)
Fungsi penetapan kebijakan, antara lain, perumusan
mengenai perencanaan dasar strategis dan perencanaan
dasar teknis telekomunikasi nasional.
Fungsi pengaturan mencakup kegiatan yang bersifat umum
dan atau teknis operasional yang antara lain, tercermin
dalam pengaturan perizinan dan persyaratan dalam
penyelenggaraan telekomunikasi.
Fungsi pengendalian dilakukan berupa pengarahan dan
bimbingan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi.
Fungsi pengawasan adalah pengawasan terhadap
penyelenggaraan telekomunikasi, termasuk pengawasan
terhadap penguasaan, pengusahaan, pemasukan, perakitan,
penggunaan frekuensi dan orbit satelit, serta alat,
perangkat, sarana dan prasarana telekomunikasi.
Fungsi penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan
pengendalian dilaksanakan oleh Menteri. Sesuai dengan
perkembangan keadaan, fungsi pengaturan, pengawasan dan
pengendalian penyelenggaraan telekomunikasi dapat
dilimpahkan kepada suatu badan regulasi.
Dalam rangka efektivitas pembinaan, pemerintah melakukan
koordinasi dengan instansi terkait, penyelenggara
telekomunikasi, dan mengikutsertakan peran masyarakat.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 6
Sesuai dengan ketentuan Konvensi Telekomunikasi lnternasional,
yang dimaksud dengan Administrasi Telekomunikasi adalah Negara
yang diwakili oleh pemerintah negara yang bersangkutan. Dalam
hal ini Administrasi Telekomunikasi melaksanakan hak dan
kewajiban Konvensi Telekomunikasi lnternasional, dan peraturan
yang menyertainya.
Administrasi Telekomunikasi Indonesia juga melaksanakan hak dan
kewajiban peraturan internasional lainnya seperti peraturan
yang ditetapkan lntelsat (International Telecommunication
Satellite Organization) dan lnmarsat (International Maritime
Satellite Organization) serta perjanjian internasional di
bidang telekomunikasi lainnya yang diratifikasi Indonesia.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a Cukup jelas.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus antara lain
untuk keperluan meteorologi dan geofisika, televisi
siaran, radio siaran, navigasi, penerbangan,
pencarian dan pertolongan kecelakaan, amatir radio,
komunikasi radio antar penduduk dan penyelenggaraan
telekomunikasi khusus instansi pemerintah
tertentu/swasta.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Penyelenggara jasa telekomunikasi yang memerlukan
jaringan telekomunikasi dapat menggunakan jaringan yang
dimilikinya dan atau menyewa dan penyelenggara jaringan
telekomunikasi lain.
Jaringan telekomunikasi yang disewa pada dasarnya
digunakan untuk keperluan sendiri, namun apabila
disewakan kembali kepada pihak lain, maka yang menyewakan
kembali tersebut harus memperoleh izin sebagai
penyelenggara jaringan telekomunikasi.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan penyelenggaraan telekomunikasi
khusus untuk keperluan perseorangan adalah
penyelenggaraan telekomunikasi guna memenuhi
kebutuhan perseorangan, misalnya amatir radio dan
komunikasi radio antar penduduk.
Huruf b
Yang dimaksud dengan penyelenggaraan telekomunikasi
khusus untuk keperluan instansi pemerintah adalah
penyelenggaraan telekomunikasi untuk mendukung
pelaksanaan tugas-tugas umum instansi tersebut,
misalnya, komunikasi departemen atau komunikasi
pemerintah daerah.
Huruf c
Yang dimaksud dengan penyelenggaraan telekomunikasi
khusus untuk dinas khusus adalah penyelenggaraan
telekomunikasi untuk mendukung kegiatan dinas yang
bersangkutan, antara lain, kegiatan navigasi,
penerbangan, atau meteorologi.
Huruf d
Yang dimaksud dengan penyelenggaraan telekomunikasi
khusus untuk badan hukum adalah penyelenggaraan
telekomunikasi yang dilakukan oleh Badan Usaha
Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Badan Usaha
swasta, atau koperasi, misalnya telekomunikasi
perbankan, telekomunikasi pertambangan, atau
telekomunikasi perkeretaapian.
Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Pasal ini dimaksudkan agar terjadi kompetisi yang sehat
antar penyelenggara telekomunikasi dalam melakukan
kegiatannya.
Peraturan perundang-undangan yang berlaku dimaksud adalah
Undang-undang Nomon 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat serta peraturan
pelaksanaannya.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Perizinan penyelenggaraan telekomunikasi dimaksudkan
sebagai upaya Pemerintah dalam rangka pembinaan untuk
mendorong pertumbuhan penyelenggaraan telekomunikasi yang
sehat.
Pemerintah berkewajiban untuk mempublikasikan secara
berkala atas daerah/wilayah yang terbuka untuk
penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi.
Penyelenggaraan telekomunikasi wajib memenuhi persyaratan
yang ditetapkan dalam perizinan. Penyelenggaraan
telekomunikasi guna keperluan eksperimen diberi izin
khusus untuk jangka waktu tertentu.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan memanfaatkan atau melintasi tanah
negara dan atau bangunan yang dimiliki/dikuasai oleh
Pemerintah adalah kemudahan yang diberikan kepada
penyelenggara telekomunikasi.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan instansi pemerintah adalah instansi
yang secara langsung menguasai, memiliki, dan atau
menggunakan tanah dan atau bangunan.
Pasal 13
Yang dimaksud dengan perseorangan adalah orang seorang dan atau
badan hukum yang secara langsung menguasai, memiliki dan atau
menggunakan tanah dan atau bangunan yang dimanfaatkan atau
dilintasi.
Dalam rangka memberi perlindungan hukum terhadap hak miIik
perseorangan maka pemanfaatannya harus mendapat persetujuan
para pihak.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Ganti rugi oleh penyelenggara telekomunikasi diberikan
kepada pengguna atau masyarakat Iuas yang dirugikan
karena kelalaian atau kesalahan penye!enggara
telekomunikasi.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyelesaian ganti rugi dilaksanakan dengan cara melalui
mediasi atau arbitrase atau konsiliasi. Cara-cara
tersebut dimaksudkan sebagai upaya bagi para pihak untuk
mendapatkan penyelesaian dengan cara cepat. Apabila
penyelesaian ganti rugi melalui cara tersebut di atas
tidak berhasil, maka dapat diselesaikan melalui
pengadilan.
Pasal 16
Ayat (1)
Kewajiban pelayanan universal (universal service
obligation) merupakan kewajiban penyediaan jaringan
telekomunikasi oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi
agar kebutuhan masyarakat terutama di daerah terpencil
dan atau belum berkembang untuk mendapatkan akses telepon
dapat dipenuhi.
Dalam penetapan kewajiban pelayanan universal, pemerintah
memperhatikan prinsip ketersediaan pelayanan jasa
telekomunikasi yang menjangkau daerah berpenduduk dengan
mutu yang baik dan tarif yang layak.
Kewajiban pelayanan universal terutama untuk wilayah yang
secara geografis terpencil dan yang secara ekonomi belum
berkembang serta membutuhkan biaya pembangunan tinggi
termasuk di daerah perintisan, pedalaman, pinggiran,
terpencil dan atau daerah yang secara ekonomi kurang
menguntungkan.
Kewajiban membangun fasilitas telekomunikasi untuk
pelayanan universal dibebankan kepada penyelenggara
jaringan telekomunikasi tetap yang telah mendapatkan izin
dan pemerintah berupa jasa Sambungan Langsung Jarak Jauh
(SLJJ) dan atau jasa sambungan lokal. Penyelenggara
jaringan telekomunikasi lainnya di luar kedua jenis jasa
di atas diwajibkan memberikan kontribusi.
Ayat (2)
Kompensasi lain sebagaimana dimaksud dalam kewajiban
pelayanan universal adalah kontribusi biaya untuk
pembangunan yang dibebankan melalui biaya interkoneksi.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Pencatatan pemakaian jasa telekomunikasi merupakan
kewajiban penyelenggara yang pelaksanaannya dilakukan
secara bertahap dan berlaku hanya untuk pelayanan jasa
telepon Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) dan
Sambungan Langsung lnternasional (SLI) sepanjang diminta
oleh pengguna jasa telekomunikasi.
Perekaman pemakaian jasa telekomunikasi adalah rekaman
rincian data tagihan (billing), yang digunakan untuk
membuktikan pemakaian jasa telekomunikasi.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 19
Bila jaringan telekomunikasi terhubung dengan beberapa jaringan
lain yang menyelenggarakan jasa yang sama, maka pengguna
jaringan tersebut harus dijamin kebebasannya untuk memilih
salah satu dan jaringan yang terhubung tadi melalui penomoran
yang ditentukan.
Pada dasarnya pengguna berhak memilih penyelenggara jaringan
dan atau jasa telekomunikasi untuk menyalurkan hubungan
telekomunikasinya. Dalam pelaksanaannya penyelenggara jaringan
dan atau jasa telekomunikasi dapat mengubah rute hubungan dan
pengguna ke jaringan penyelenggara lain tanpa sepengetahuan
pengguna.
Apabila terjadi, hal di atas bertentangan dengan prinsip
persaingan sehat yang dapat merugikan baik bagi penyelenggara
maupun bagi pengguna.
Pasal 20
Pengiriman informasi adalah tahap awal dan proses
bertelekomunikasi, dilanjutkan dengan kegiatan penyaluran
sebagai proses antara, dan diakhiri dengan kegiatan penyampaian
informasi untuk penerimaan pihak yang dituju. Prioritas
pengiriman, penyaluran dan penyampaian informasi yang akan
ditetapkan oleh pemerintah antara lain berita tentang musibah.
Pasal 21
Penghentian kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi dapat
dilakukan oleh pemerintah setelah diperoleh informasi yang
patut diduga dengan kuat dan diyakini bahwa penyelenggaraan
telekomunikasi tersebut melanggar kepentingan umum, kesusilaan,
keamanan, atau ketertiban umum.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan agar kebutuhan atas penomoran
dan penyelenggara jaringan dan penyelenggara jasa
telekomunikasi serta penggunanya dapat dipenuhi secara
adil dan selaras dengan ketentuan internasional.
Nomor adalah rangkaian tanda dalam bentuk angka terdiri
atas kode akses dan nomor pelanggan yang dipergunakan
untuk mengidentifikasi suatu alamat pada jaringan atau
pelayanan telekomunikasi.
Ayat (2)
Penomoran adalah sumber daya terbatas dan oleh karena itu
sistem penomoran diatur oleh Menteri secara adil.
Penomoran pada jaringan telekomunikasi terkait dengan
teknologi dan ketentuan internasional.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi adalah kewajiban
yang dikenakan kepada penyelenggara jaringan dan atau
jasa telekomunikasi sebagai kompensasi atas perizinan
yang diperolehnya dalam penyelenggaraan jaringan dan atau
jasa telekomunikasi, yang besarnya ditetapkan berdasarkan
persentase dan pendapatan dan merupakan Pendapatan Negara
Bukan Pajak (PNBP) yang disetor ke Kas Negara.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 27
Susunan tarif jaringan dan atau jasa telekomunikasi meliputi
struktur dan jenis tarif ditetapkan oleh pemerintah.
Berdasarkan struktur dan jenis tersebut, penyelenggara jaringan
telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi dapat menetapkan
besaran tarif.
Struktur tarif terdiri atas biaya pasang baru (aktivasi), biaya
berlangganan bulanan, biaya penggunaan, dan biaya jasa tambahan
(feature). Jenis tarif terdiri atas tarif pulsa lokal, tarif
pulsa SLJJ, tarif SLI, dan air time untuk jasa sambungan
telepon bergerak.
Pasal 28
Formula sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pola
perhitungan untuk menetapkan besaran tarif.
Formula tarif terdiri atas formula tarif awal dan formula tarif
perubahan.
Dalam menerapkan formula tarif awal, yang harus diperhatikan
adalah komponen biaya, sedangkan untuk menetapkan formula
besaran tarif perubahan diperhatikan juga antara lain faktor
inflasi, kemampuan masyarakat, dan kesinambungan pembangunan
telekomunikasi.
Pasal 29
Ayat (1)
Larangan bagi penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk
disambungkan ke jaringan penyelenggara telekomunikasi
lainnya dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum bagi
ruang lingkup penyelenggaraan telekomunikasi khusus yang
memang hanya untuk keperluan sendiri.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengatasi masalah
kebutuhan jasa telekomunikasi di suatu daerah yang karena
keadaan tertentu belum dapat dijangkau oleh jasa
telekomunikasi. Oleh karena itu Undang-undang ini
memandang perlu memberikan kemungkinan kepada
penyelenggara telekomunikasi khusus yang sebenarnya hanya
bergerak untuk kepentingan sendiri dapat memberikan
pelayanan jasa telekomunikasi kepada masyarakat yang
bertempat tinggal di daerah tersebut.
Ayat (2)
Peyelenggara telekomunikasi khusus yang menyelenggarakan
jaringan dan atau jasa telekomunikasi dapat melanjutkan
penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi
dengan pertimbangan investasi yang telah dilakukannya dan
kesinambungan pelayanan kepada pengguna.
Dalam hal ini penyelenggara telekomunikasi khusus yang
bersangkutan wajib memenuhi seluruh ketentuan yang
berlaku bagi penyelenggaraan jaringan dan atau jasa
telekomunikasi.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Untuk keperluan pertahanan keamanan negara, fasilitas
telekomunikasi yang dimiliki oleh penyelenggara
telekomunikasi lainnya dapat dimanfaatkan.
Penggunaan atau pemanfaatan jaringan telekomunikasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dilakukan sepanjang
jaringan telekomunikasi untuk keperluan pertahanan
keamanan negara, yang dalam hal ini oleh Tentara Nasional
Indonesia, tidak dapat berfungsi atau tidak tersedia.
Dalam hal negara dalam keadaan bahaya ketentuan ayat ini
tidak berlaku.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Persyaratan teknis alat/perangkat telekomunikasi
merupakan syarat yang diwajibkan terhadap alat perangkat
telekomunikasi agar pada waktu dioperasikan tidak saling
mengganggu alat/perangkat telekomunikasi lain dan atau
jaringan telekomunikasi atau alat atau perangkat selain
perangkat telekomunikasi.
Persyaratan teknis dimaksud lebih ditujukan terhadap
fungsi alat/perangkat telekomunikasi yang berupa
parameter elektris/elektronis serta dengan memperhatikan
pula aspek di luar parameter elektris/elektronis sesuai
dengan ketentuan yang berlaku dan aspek lainnya, misalnya
lingkungan, keselamatan, dan kesehatan. Untuk menjamin
pemenuhan persyaratan teknis alat atau perangkat
telekomunikasi, setiap alat atau perangkat telekomunikasi
dimaksud harus diuji oleh balai uji yang diakui oleh
pemerintah atau institusi yang berwenang. Ketentuan
persyaratan teknis memperhatikan standar teknis yang
berlaku secara internasional, mempertimbangkan
kepentingan masyarakat, dan harus berdasarkan pada
teknologi yang terbuka.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Pemberian izin penggunaan spektrum frekuensi radio dan
orbit satelit didasarkan kepada ketersediaan spektrum
frekuensi radio yang telah dialokasikan untuk keperluan
penyelenggaraan telekomunikasi termasuk siaran sesuai
peruntukannya. Tabel alokasi frekuensi radio
disebarluaskan dan dapat diketahui oleh masyarakat secara
transparan. Apabila ketersediaan spektrum frekuensi radio
dan orbit satelit tidak memenuhi permintaan atau
kebutuhan penyelenggaraan telekomunikasi, maka perolehan
izinnya antara lain dimungkinkan melalui mekanisme
pelelangan.
Ayat (2)
Frekuensi radio adalah jumlah getaran elektromagnetik
untuk 1 (satu) periode, sedangkan spektrum frekuensi
radio adalah kumpulan frekuensi radio.
Penggunaan frekuensi radio didasarkan pada ruang, jumlah
getaran, dan lebar pita, yang hanya dapat digunakan oleh
1 (satu) pihak. Penggunaan secara bersamaan pada ruang,
jumlah getaran, dan lebar yang sama atau berhimpitan akan
saling mengganggu.
Frekuensi dalam telekomunikasi digunakan untuk membawa
atau menyalurkan informasi. Dengan demikian agar
informasi dapat dibawa atau disalurkan dengan baik tanpa
gangguan maka penggunaan frekuensinya harus diatur.
Pengaturan frekuensi antara lain mengenai pengalokasian
pita frekuensi dan peruntukannya.
Orbit satelit adalah suatu lintasan di angkasa yang
dilalui oleh suatu pusat masa satelit. Orbit satelit
terdiri atas orbit satelit geostasioner, orbit satelit
rendah, dan orbit satelit menengah.
Orbit satelit geostasioner adalah suatu lintasan yang
dilalui oleh suatu pusat masa satelit yang disebabkan
oleh gaya gravitasi bumi, mempunyai kedudukan tetap
terhadap bumi. Orbit satelit geostasioner berada di atas
khatulistiwa dengan ketinggian 36.000 km.
Orbit satelit rendah dan menengah adalah suatu lintasan
yang dilalui oleh suatu pusat masa satelit yang
kedudukannya tidak tetap terhadap bumi. Ketinggian orbit
satelit rendah sekitar 1.500 km dan orbit satelit
menengah sekitar 11.000 km.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio merupakan
kompensasi atas penggunaan frekuensi sesuai dengan izin
yang diterima. Di samping itu, biaya penggunaan frekuensi
dimaksudkan juga sebagai sarana pengawasan dan
pengendalian agar frekuensi radio sebagai sumber daya
alam terbatas dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Besarnya biaya penggunaan frekuensi ditentukan
berdasarkan jenis dan lebar pita frekuensi. Jenis
frekuensi akan berpengaruh pada mutu penyelenggaraan,
sedangkan lebar pita frekuensi akan berpengaruh pada
kapasitas/jumlah informasi yang dapat dibawa/dikirimkan.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan wilayah perairan Indonesia adalah
wilayah laut teritorial termasuk perairan dalam.
Dengan demikian, pengertian ini menjangkau konsepsi
negara kepulauan sebagaimana diakui dalam Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut
lnternasional yang selanjutnya telah diratifikasi dengan
Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985.
Karena kapal berbendera asing tersebut telah dilengkapi
dengan perangkat telekomunikasi yang pemasangan dan
pengoperasiannya mengikuti ketentuan yang berlaku di
negaranya, maka ketentuan tentang persyaratan teknis yang
ditetapkan Menteri tidak dapat diterapkan kepadanya.
Penggunaan perangkat telekomunikasi tersebut di wilayah
perairan Indonesia tetap harus mengikuti ketentuan
internasional yang berlaku, yakni prinsip tidak saling
mengganggu dan sesuai dengan peruntukannya.
Ayat (2)
Larangan menggunakan spektrum frekuensi radio atau orbit
satelit di wilayah perairan Indonesia dimaksudkan untuk
melindungi keamanan negara dan untuk mencegah
dirugikannya penyelenggaraan telekomunikasi.
Dinas bergerak pelayaran (maritime mobile service) adalah
telekomunikasi antara stasiun pantai dan stasiun kapal,
antarstasiun kapal, antarstasiun komunikasi pelengkap di
kapal, stasiun kendaraan penyelamat, atau stasiun rambu
radio penunjuk posisi darurat.
Ketentuan ini hanya berlaku untuk kapal sipil dan tidak
berlaku bagi kapal milik Tentara Nasional Indonesia.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Ketentuan teknis tentang perangkat telekomunikasi yang
ditetapkan Pemerintah tidak dapat diterapkan kepada
pesawat udara asing karena pesawat udara asing tersebut
mengikuti ketentuan yang berlaku di negaranya.
Penggunaan perangkat telekomunikasi tersebut tetap harus
mengikuti ketentuan mnternasional yang berlaku, yakni
prinsip tidak saling mengganggu dan sesuai dengan
peruntukkannya.
Ayat (2)
Larangan menggunakan spektrum frekuensi radio atau orbit
satelit di wilayah udara Indonesia dimaksudkan untuk
melindungi keamanan negara dan untuk mencegah
dirugikannya penyelenggaraan telekomunikasi.
Dinas bergerak penerbangan (aeronautical mobile service)
adalah telekomunikasi antara stasiun penerbangan dan
stasiun pesawat udara, antarstasiun pesawat udara yang
juga dapat mencakup stasiun kendaraan penyelamat, dan
stasiun rambu radio penunjuk posisi darurat.
Dinas tersebut beroperasi pada frekuensi yang ditentukan
untuk marabahaya dan keadaan darurat.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 37
Asas timbal balik yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah asas
dalam hubungan internasional untuk memberikan perlakuan yang
sama kepada perwakilan diplomatik asing di Indonesia
sebagaimana perlakuan yang diberikan kepada perwakilan
Indonesia di negara yang bersangkutan.
Pasal 38
Perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap
penyelenggaraan telekomunikasi dapat berupa
a. tindakan fisik yang menimbulkan kerusakan suatu jaringan
telekomunikasi sehingga jaringan tersebut tidak dapat
berfungsi sebagaimana mestinya;
b. tindakan fisik yang mengakibatkan hubungan telekomunikasi
tidak berjalan sebagaimana mestinya;
c. penggunaaan alat telekomunikasi yang tidak sesuai dengan
persyaratan teknis yang berlaku;
d. penggunaan alat telekomunikasi yang bekerja dengan
gelombang radio yang tidak sebagaimana mestinya sehingga
menimbulkan gangguan terhadap penyelenggaraan
telekomunikasi lainnya; atau
e. penggunaan alat bukan telekomunikasi yang tidak
sebagaimana mestinya sehingga menimbulkan pengaruh teknis
yang tidak dikehendaki suatu penyelenggaraan
telekomunikasi.
Pasal 39
Ayat (1)
Kegiatan pengamanan telekomunikasi dilaksanakan oleh
penyelenggara telekomunikasi yang dimulai sejak
perencanaan pembangunan sampai dengan akhir masa
pengoperasian. Lingkup perencanaan pembangunan termasuk
antara lain rancang bangun dan rekayasa, yang harus
memperhitungkan perlindungan dan pengamanan terhadap
gangguan elektromagnetis, alam, dan lingkungan.
Dalam kegiatan pengamanan dan perlindungan instalasi
penyelenggara mengikutsertakan masyarakat dan
berkoordinasi dengan pihak yang berwenang.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 40
Yang dimaksud dengan penyadapan dalam pasal ini adalah kegiatan
memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan
telekomunikasi untuk tujuan mendapatkan informasi dengan cara
tidak sah. Pada dasarnya informasi yang dimiliki oleh seseorang
adalah hak pribadi yang harus dilindungi sehingga penyadapan
harus dilarang.
Pasal 41
Rekaman informasi antara lain rekaman percakapan antar pihak
yang bertelekomunikasi.
Pasal 42
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan proses peradilan pidana dalam
ketentuan ini mencakup penyidikan, penuntutan, dan
penyidangan.
Huruf a
Yang dimaksud dengan tindak pidana tertentu adalah tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara selama 5 (lima)
tahun keatas, seumur hidup atau mati.
Huruf b
Contoh tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang
yang berlaku ialah tindak pidana yang sesuai dengan
Undang-undang tentang Narkotika dan tindak pidana yang
sesuai dengan Undang-undang tentang Psikotropika.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Pasal 45
Pengenaan sanksi administrasi dalam ketentuan ini dimaksudkan
sebagai upaya Pemerintah dalam rangka pengawasan dan
pengendalian penyelenggaraan telekomunikasi.
Pasal 46
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Gukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Badan Penyelenggara adalah Badan Penyelenggara sesuai
dengan yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun
1989.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan hal tertentu adalah hak
eksklusivitas untuk menyelenggarakan jasa telekomunikasi
tetap sambungan lokal, Sambungan Langsung Jarak Jauh
(SLJJ), dan Sambungan Langsung lnternasional (SLI) yang
diberikan oleh Pemerintah kepada Badan Penyelenggara.
Sejalan dengan jiwa Undang-undang ini yang akan
mengakhiri monopoli di bidang telekomunikasi, Pemerintah
dapat mempersingkat jangka waktu hak tertentu tersebut.
Untuk mempercepat berakhirnya jangka waktu hak tertentu
dilakukan melalui cara dan persyaratan yang disepakati
bersama, dengan memperhatikan prinsip kejujuran dan
keadilan serta keterbukaan (fairness). misalnya dengan
pemberian kompensasi.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3881